Lawan Stigma, Penyintas Kusta Berkarya Bikin Sepatu Ramah Lingkungan

Sepatokimin Initiative
Sumber :
  • dw

Lawan stigma dengan karya! Itulah yang dilakukan oleh Sepatokimin Initiative yang peduli terhadap para penyintas kusta di Desa Liposos, Singkawang, Kalimantan Barat. Berkolaborasi dengan brand sepatu Brodo dan Footwear Forum Indonesia, mereka membuat sebuah proyek berjudul “Simpul”, yang menggandeng para penyintas kusta untuk terlibat dalam pembuatan sepatu ramah lingkungan.

Kepada DW Indonesia, Inisiator dari Sepatokimin, Yohanes Arya Duta mengakui gerakan ini berawal dari keresahannya melihat banyak bentuk diskriminasi yang diterima oleh penyintas kusta di Desa Liposos, bahwa “walaupun secara medis mereka sudah sembuh, tapi yang susah dihilangkan adalah stigma negatif yang melekat pada mereka yang diterima dari perlakuan warga”.

Banyak dari penyintas kusta yang sulit diterima oleh keluarganya sendiri, apalagi mendapat kesempatan pekerjaan baik secara formal ataupun informal.

Kondisi inilah yang kemudian menginspirasi Arya dan teman-temannya di Sepatokimin untuk membuat sebuah kampanye positif terkait para penyintas kusta dengan memberi pendampingan dan menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik dan potensi yang penyintas kusta miliki.

“Harapannya lewat proses berkarya ini kita bisa memberikan mereka persepsi baru, fakta kalau karya yang mereka buat bisa diterima masyarakat secara luas terus juga mereka bisa menikmati benefit secara langsung baik secara ekonomi dan juga berikan rasa optimis kalau ternyata bisa diterima oleh banyak orang,” kata Arya.

Sepatu ramah lingkungan

Dalam proyek Simpul ini, puluhan warga penyintas kusta diajak berkarya membuat bahan material sepatu dengan teknik eco-print. Bahan-bahannya diambil dari material alam yang ada di lingkungan sekitar Desa Liposos.

“Kami coba ekstraksi warnanya terus kami aplikasikan ke kain,” jelas Arya.

Dalam proses pembuatan bahan kain eco-print ini, warga penyintas kusta menggunakan seratus persen bahan alami. Tidak ada bahan kimia berbahaya yang digunakan sehingga dipastikan prosesnya ramah lingkungan dan tidak berdampak bagi kesehatan pekerjanya.

“Kami sadar betul kualitas air dan tanah itu vital untuk lahan pertanian warga, bahkan ampas daun dari pembuatan eco-print bisa dikubur atau dijadikan kompos untuk lahan perkebunan warga,” jelas Arya.

Setelah warna daun diekstraksi pada kain, hasil jadinya kemudian diberikan kepada produsen sepatu untuk dijadikan produk sepatu. Namanya, sepatu vantage eco-print.

Arya mengisahkan kerja sama Sepatokimin Initiative dengan para penyintas kusta di Desa Liposos sejatinya telah berjalan selama kurang lebih satu tahun. Namun, khusus untuk proyek pembuatan sepatu ramah lingkungan ini telah berjalan sekitar 2 bulan. “Dan sekarang masih lanjut karena ternyata respons market positif jadi kita terus produksi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan”, ujarnya.

Sebelum jauh berkembang, Arya mengakui bahwa inisiasi yang ia pimpin awalnya hanya menyekolahkan salah satu warga untuk belajar membuat sepatu di Sidoarjo. Namun ternyata inisiasi itu meluas sehingga mereka mampu untuk melakukan pembinaan ke seluruh Desa Liposos.

Berbagai alternatif produk juga sebelumnya telah banyak dicoba. Namun, pembuatan bahan kain eco-print dirasa sebagai solusi yang pas bagi para penyintas kusta. Selain pembuatannya tidak serumit menganyam atau menenun, pembuatan bahan kain eco-print ini juga dinilai cocok untuk ditransfer nilainya ke industri.

Pembinaan berkelanjutan

Kini, sepatu yang diproduksi dengan bahan kain buatan penyintas kusta ini telah dipasarkan lewat brand Brodo. Ada dua varian sepatu, yaitu hi dan lo. Harganya 475 ribu rupiah untuk varian hi, dan 450 ribu rupiah untuk varian lo.

Menurut Arya, sebagian keuntungan dari pembelian sepatu akan digunakan untuk membantu warga Desa Liposos yang mengalami kesulitan ekonomi di masa pandemi, sekaligus untuk mendukung kegiatan pembinaan yang berkelanjutan oleh Sepatokimin.

Arya pun berharap gerakan semacam ini dapat direplikasi oleh inisasi-inisasi lain di tanah air, yaitu membuat kultur baru bahwa industri bisa berjalan berdampingan dengan kegiatan pendampingan sosial, dan brand/industri bisa terus berproduksi sembari mendukung produsen lokal.

“Ke depannya kami sangat senang kalaupun bisa diajak, kami kolaborasi atau sharing proses yang sudah kami kerjakan supaya ini bisa direplikasi pada pihak-pihak lain, pada inisiasi-inisiasi lain yang tujuannya untuk empowerement ke masyarakat,” tutup Arya. (gtp/vlz)