Kenang Tragedi Kudatuli, Budiman: Soeharto Tak Ikhlas Mega Pimpin PDI

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri
Sumber :
  • VIVA/Eduward Ambarita

VIVA – Kader PDI Perjuangan mengenang peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 yang dikenang sebagai Kudatuli. Peristiwa rusuh ini merupakan serangan berdarah terhadap kantor DPP PDIP di Jakarta.

Saat itu, tragedi Kudatuli memicu perlawanan luas di berbagai daerah. Sejarah kelam Kudatuli ini dinilai sebagai bagian dari perjalanan bangsa dalam demokrasi.

Demikian yang dibahas dalam diskusi daring yang digelar DPC PDIP Surabaya. Dalam diskusi ini hadir narasumber politikus PDIP Budiman Sudjatmiko dan jurnalis yang meliput peristiwa Kudatuli, Frans Padek Demon. 

Budiman mengatakan, tragedi 27 Juli 1996 menjadi pelajaran terpenting dalam perjalanan bangsa bahwa demokrasi ditegakkan dengan harga mahal, yaitu pertentangan fisik hingga pengorbanan rakyat. 

”Maka kita harus menjaga demokrasi Indonesia, menjaga sekuat tenaga,” ujarnya sebagaimana keterangan tertulis diterima pada Senin, 27 Juli 2020.

Baca Juga: Benderanya Dibakar, PDIP Tempuh Jalur Hukum Seperti Peristiwa Kudatuli

Peristiwa 27 Juli 1996 ditandai dengan pengambilalihan paksa kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro 58 Jakarta di bawah kepengurusan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan massa PDI pendukung Soerjadi yang disokong oleh kekuatan negara.

Penyerbuan kantor PDIP itu merupakan puncak dari berbagai peristiwa yang mengguncang kemapanan Orde Baru, dimulai sejak Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI dalam Kongres di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 1993. 

Pemerintahan Orde Baru tak merestui terpilihnya Megawati, sehingga rezim terus memecah belah PDI. Puncaknya, pemerintah merestui Soerjadi menggelar kongres tandingan PDI di Medan, Juni 1996. 

Ketika itu, Soerjadi menjadi ketua umum PDI yang direstui pemerintah. "Soeharto tak ikhlas Megawati memimpin PDI," kata Budiman.

Menurut Budiman, tragedi 27 Juli 1996 menjadi salah satu titik balik perlawanan rakyat dalam merebut demokrasi. ”Tragedi itu bukan hanya wujud perlawanan PDI terhadap Orde Baru, tapi juga menandai gerakan rakyat bahwa demokrasi harus direbut bersama-sama,” ujar Budiman.

Sementara itu, jurnalis Frans Padak Demon mengisahkan pengalamannya meliput langsung tragedi tersebut. Saat itu, dia adalah wartawan TV Jepang, NHK. 

”Pagi betul, 27 Juli, saya main tenis di Cinere. Ada pesan lewat pager yang meminta dia meliput ke kantor PDI di Jalan Diponegoro. “Frans segera ke kantor PDI, kantor diserang preman dan tentara,” ceritanya.

Tanpa ganti baju dan tanpa mandi, Frans bergegas menuju Jalan Diponegoro. Frans mencoba masuk ke kantor PDI, tapi dicegat tentara. Dia terus berjalan, dan kemudian bertemu salah seorang petugas media Istana, yang diketahui sudah berada di dekat kantor PDI sejak malam. 

"Berarti (petugas) sudah tahu kalau akan ada serangan," kata dia. 

Ketua DPC PDIP Surabaya Adi Sutarwijono mengatakan, peristiwa 27 Juli menjadi pendidikan sejarah penting bagi kaum muda, khususnya kader-kader PDIP. Hal ini sesuai pesan Megawati Sukarnoputri.

"Ibu Megawati mendorong anak-anak muda bergelut dalam politik pengabdian. Maka anak-anak muda harus melek sejarah," katanya. (ase)