Kudatuli, Jejak Kelam Rezim Orde Baru di Bawah Soeharto

Kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Sumber :
  • Danar Dono

VIVA - Tanggal 27 Juli 1996, 24 tahun lalu, suasana Jakarta mencekam. Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia diambil alih paksa lewat pertumpahan darah.

Peristiwa yang dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) itu adalah salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Baca juga: Benderanya Dibakar, PDIP Tempuh Jalur Hukum Seperti Peristiwa Kudatuli

Waktu itu, Orde Baru di bawah Soeharto dinilai mengekang kebebasan demokrasi rakyat Indonesia. Sementara itu, Soerjadi di PDI juga merupakan ‘boneka’ pemerintah orde baru, sehingga warga terutama massa pro-Mega bergolak melawan.

Megawati sebagai Putri Presiden pertama Indonesia, Soekarno, kala itu berhasil menjadi pengobar semangat, bahkan ‘ruh’ perjuangan agar Indonesia menjadi negara demokratis.

 “Tragedi 27 Juli contoh praktik kekuasaan yang frustasi menghadapi arus bawah atau rakyat. Kekerasan selalu dianggap menjadi solusi bagi kekuasaan. Dalam alam demokrasi yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap HAM, praktik seperti ini tidak boleh terjadi lagi,” kata anggota Komisi III DPR RI Bambang DH pada Senin, 27 Juli 2020.

Politikus PDI Perjuangan itu menambahkan, peristiwa Kudatuli harus diketahui dan dipahami oleh semua generasi bangsa, terutama kalangan milenial. Tragedi ini bukan sekadar perjuangan Pro-Mega, tapi juga perjuangan semua lapisan masyarakat yang sudah jengah dengan kediktatoran Orde Baru kala itu.

“Ini harus menjadi pelajaran bagi kita saat ini dan generasi-generasi mendatang, jangan pernah alat negara digunakan sebagai alat kekuasaan. Bisa ambruk negara ini kalau hal itu dilakukan. Beruntung, saat Kudatuli terjadi, semua elemen masyarakat, tidak hanya Pro-Mega, tapi juga mahasiswa, ormas, dan warga biasa bersatu padu melawan rezim Orde Baru,” ujar Bambang DH.

Mantan Wali Kota Surabaya itu mendesak agar pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran berat dalam tragedi Kudatuli. Jalan panjang memang ditempuh oleh PDIP untuk menjernihkan peristiwa itu. Sebab, hingga kini para pelaku penyerbuan masih bebas berkeliaran.
 
“Kudatuli adalah kasus pelanggaran HAM berat  masa lalu yang harus dituntaskan penyelidikannya.Harus diadili sesuai dengan ketentuan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Bambang DH.