Refly Harun Ungkap Perbedaan Kasus Harun Masiku dan Djoko Tjandra

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun saat berkunjung ke kantor VIVA di Jakarta
Sumber :
  • VIVA/Dhana Kencana

VIVA – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menegaskan, hukum tidak boleh mengikuti rezim dari partai politik penguasa. Hal ini dikemukakannya menanggapi perbandingan perlakuan terhadap pengejaran Djoko Tjandra dan Harun Masiku.

Terkait kedua nama tersebut, Refli mengemukakan, Djoko Tjandra memang secara korupsi besar dananya, tapi yang dilakukan Masiku meski hanya bernilai Rp500 juta dipandang lebih berbahaya.

Hal itu lantaran Harun Masiku menyuap penyelenggara pemilu yang menyiapkan calon pemimpin. Menurutnya, penyelenggaraan Pemilu membutuhkan dana triliunan. Selain itu, jika penyelenggara yang harusnya menjadi juri bisa disuap, maka proses demokrasi bisa menghasilkan pemimpin tak berintegritas. 

“Integritas pemimpin secara keseluruhan, berpikir bukan hanya Harun Masiku. Penyelenggara pemilu yang tak berintegritas bermasalah kerugian trilunan, yang akhirnya penyelenggara pemilu bisa disuap. Fenomena ini bisa terjadi sebelumnya dan bisa saja ada yang lain selain Harun Masiku,” kata Refly saat dihubungi, Selasa 4 Agustus 2020.

Baca juga: Ikut Deklarasi KAMI, Refly Harun: Hal yang Baik Harus Diikuti

“Ketika Harun Masiku menyuap lebih bahaya karena terkait integritas, Djoko Tjandra nggak ada apa-apanya dari Harun Masiku. Semua terkuak,” ujarnya menambahkan.

Perihal penangkapan Djoko Tjandra disampaikan Refly karena dipandang sebagai musuh bersama. Sementara Masiku yang awalnya merupakan orang biasa dinilainya sontak menjadi orang luar biasa karena adanya konflik kepentingan.

Meski demikian, dia menggarisbawahi fakta Masiku sebagai Caleg PDIP harus kembali dianalisa apakan lambatnya penangkapan karena partai ini tengah menjadi penguasa di Indonesia.

“Satu melindungi (Masiku), satu pihak ingin menangkap. Caleg PDIP adalah fakta, terkait PDIP ini analisis. Kalau hanya Harun Masiku sendiri harusnya ditangkap, tapi nggak tau kalau ada kasus apa di belakang ini, bahkan gawat kalau memang ada kabar dia meninggal. Justru jadi pertanyaan ada apa di baliknya," ujarnya.

Untuk itu, Refly meminta aparat penegak hukum jangan mengikuti dan tunduk pada rezim, melainkan harus tunduk dan mengabdi kepada negara.

“Kalau hukum ikutin rezim, akan tumpul ke atas. Makanya sebagai penegak hukum jangan ikutin rezim tapi ikutin negara,” ujar Refly.

Diberitakan media sebelumnya, Anita Kolopaking menyebutkan adanya dugaan politisasi dalam Peninjauan Kembali (PK) Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Mahkamah Agung (MA) dalam kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. PK yang dinilai inkonstitusional oleh banyak pihak tersebut kabarnya diduga melibatkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). 

Menurut Anita terjadi penzaliman by order (pesanan) kekuasaan pada saat PK JPU kepada MA yang dinilai inkonstitusional pada tanggal 3 September 2008 silam. Anita menduga ada campur tangan kekuasaan dari PK yang dilakukan oleh JPU kepada MA pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut.

Ia menekankan, dalam KUHAP pasal 263 ayat 1 disebutkan hanya terpidana dan ahli waris yang dapat melakukan pengajuan PK. Tidak hanya itu, Anita menegaskan, eksekusi putusan dari Jaksa pada tahun 2001 juga sudah dijalankan oleh Djoko Tjandra.

"Delapan tahun setelah eksekusi Jaksa pada tahun 2001 yang sudah dijalankan oleh Pak Djoko Tjandra. Jaksa melakukan PK, berarti kedzoliman itu by order," ucapnya ketika itu. (ren)