Imam Besar Masjid Istiqlal Sebut Indonesia Hadapi Dua Bahaya Laten

Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengingatkan masyarakat, terutama umat Islam, agar menjadikan Hari Ulang Tahun ke-75 RI sebagai momentum untuk memperkuat ketahanan nasional. Sebab, menurutnya, bangsa Indonesia kini menghadapi dua bahaya laten.

"Saat ini ada dua bahaya laten yang harus kita atasi, yaitu COVID-19, dan yang kedua adalah radikal-terorisme. Keduanya ini sama bahayanya," kata Nasaruddin dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 14 Agustus 2020.

Sebagai warga bangsa, katanya, COVID-19 wajib disingkirkan dengan usaha dan doa. Begitu juga dengan radikal-terorisme. Dia menyarankan agar generasi muda diajarkan bela negara sehingga memiliki semangat bela negara.

Baca: Setara Institute Anggap Jokowi Memanjakan TNI

Nasaruddin mencontohkan Mesir yang mengharuskan setiap pemuda, terutama yang hendak kuliah strata 1, untuk mengikuti latihan wajib militer agar mereka memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. “Kalau semua anak muda kita didoktrin untuk bela negara dan mental ideologis serta dilatih secara fisik, saya kira daya tahan bangsa kita nanti akan kuat," katanya.

Untuk mengisi kemerdekaan, masyarakat harus bekerja sama menanggulangi pandemi COVID-19. Begitu juga pentingnya kerja sama masyarakat dan pemerintah untuk memerangi segala bentuk terorisme, kekerasan, dan semacamnya.

"Untuk menanggulangi paham radikal terorisme, masyarakat harus memiliki pemahaman agama yang mendalam, dan jangan belajar kepada guru yang tidak tepat,” katanya.

Nasaruddin memandang perlu pemahaman Alquran dan hadis secara mendalam agar tidak melenceng. Masalahnya, pemahaman agama yang melenceng bisa bahaya dalam masyarakat.

“Belajarlah kepada sumber yang lebih baik. Jangan belajar kepada orang-orang yang tidak jelas sanad keilmuannya dari mana. Tiba-tiba datang dengan mengafirkan orang lain, membidahkan orang; jadi semua orang mau diajak berdebat. Bangsa kita yang seperti ini, yang sangat plural, saya harap jalin persatuan dan kesatuan, bukan menekankan aspek perbedaan dan pertentangan," katanya.

Mantan wakil menteri agama ini menilai, harus ada yang bisa menjadi contoh di dalam masyarakat dan lingkungan untuk menjalankan agama secara toleran, termasuk memiliki nasionalisme untuk membangun bangsa. Nasionalisme memiliki banyak bentuk, seperti cinta produk dalam negeri dan cinta pemikiran dalam negeri.

"Jangan seolah-olah pemikir Barat itu benar, mutlak, atau Timur Tengah itu benar. Karena kebenaran itu universal: ada di sana, ada di sini. Sama juga kesalahan: ada di sana, ada di sini. Nasionalisme itu bukan hanya konsumsi produk dalam negeri, konsumsi pemikiran dalam negeri pun  perlu," ujarnya.