Eep Beberkan Faktor yang Hambat Indonesia Jadi Negara Maju

Eep Syaefullah Fatah, Direktur Eksekutif Polmark.
Sumber :
  • VIVA/Ridho Permana

VIVA - Pengamat politik, Eep Saefullah Fatah, mengatakan, ada beberapa hal yang dapat menghambat laju Indonesia menjadi negara maju. Hal ini disampaikan dalam rangka refleksi 75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada Senin, 17 Agustus 2020.

“Kita harus fokus pada mendata apa saja hal-hal yang bisa menarik ke belakang, yang membuat kemajuan terbatasi, laju kita terhambat,” kata Eep dikutip dari YouTube ILC pada Rabu, 19 Agustus 2020.

Baca juga: Deklarasi KAMI, Ahmad Yani Khawatir Indonesia Tenggelam Sebelum 2024

Menurut dia, ada beberapa hal dapat menghambat laju kemajuan bangsa yakni soal keadilan penegakan hukum. Sebab, ia prihatin bahwa konstitusi masih suka dilecehkan bahkan oleh aturan di bawahnya dan aparatur yang membabi buta menjalankan peranan politisasi dirinya menjadi instrumen dari kekuasaan.

“Salah satu yang baik perlu diangkat adalah kebebasan berbicara," ujarnya.

Namun, Eep menyoroti ketika orang-orang bersuara kritis dan lantang terhadap seseorang yang dekat dengan kekuasaan atau di-back up oleh pemodal maka hukum tidak bisa menjamahnya.

Tapi, saat warga negara bersuara kritis, namun tidak dekat dengan kekuasaan atau pemodal maka mereka gampang menjadi korban hukum yang dipolitisasi.

"Saya tegaskan betapa tidak adil hukum bekerja untuk orang dari kelompok yang berbeda. Jika kemudian ini tidak diluruskan, maka ini salah satu faktor yang bisa menghambat kemajuan. Kebebasan berbicara harus kembali ditegakkan, jangan sampai bersuara kritis ketakutan karena aparat menjadi instrumen untuk membungkam orang yang berbeda," kata dia.

Kemudian, Eep mengatakan, salah satu faktor menghambat bangsa ini untuk maju pesat laju terkendala adalah politisasi keragaman identitas. Untuk itu, ia minta penghadap-hadapan Pancasila dengan agama, keimanan versus kebangsaan dan semacamnya harus dihentikan.

"Politisasi semacam itu tidak sehat. Sebagai fakta, politik identitas terbatas tapi ketika politisasi berkembang begitu rupa, politik identitas seolah-olah mencengkeram kita dan jika itu dimanfaatkan untuk mengelola dikotomi yang terus terpelihara, saya kira bangsa ini menjadi tidak sehat," katanya.

Selanjutnya, Eep menambahkan, rakyat kerap kali belum atau tidak dinomorsatukan. Saat ini, ada dua peristiwa besar yang dihadapi Indonesia yakni pandemi dan resesi, sehingga menyebabkan orang kecil sebagai korban.

Menurut dia, tugas utama pemerintah bukan hanya menegaskan bahwa mereka berkemampuan melesatkan kembali pertumbuhan ekonomi, sehingga keluar dari jeratan minus dan kembali ke plus.

Akan tetapi, yang terpenting adalah memprioritaskan semua kebijakan dan alokasi anggaran sehingga rakyat yang paling menderita menjadi nomor satu.

"Membangun republik adalah berorientasi dalam publik. Dalam republik, publik harus ditempatkan di tempatnya yang terhormat utama. Saya yakin bahwa Indonesia menjadi negara maju, tapi pada saat yang sama harus ada kesadaran bahwa masih banyak sekali ancaman terhadap laju kemajuan itu. Ini tanggung jawab bersama," katanya. (art)