Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan RCTI dan iNews

Sidang Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok

VIVA – Pemerintah melalui Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M. Ramli meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menolak permohonan pemohon, dalam gugatan yang diajukan RCTI dan iNews terkait Pasal 1 dan 2 Undang-undang (UU)Penyiaran.  

Demikian disampaikan M Ramli dalam risalah sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XVIII/2020 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Terhadap UUD 1945 yang dikutip VIVA di laman MK, Jumat, 28 Agustus 2020. 

Baca: Pokok Gugatan RCTI-iNews Soal UU Penyiaran, Seret Youtube dan Netflix?

Menurut Ramli, karakteristik penyiaran dalam Undang-undang Penyiaran dengan subjek hukumnya adalah lembaga penyiaran, berbeda dengan karakteristik over the top (OTT) yang on demand melalui internet, serta wujud layanan yang sangat beragam dengan subjek hukumnya adalah perorangan, badan usaha atau badan hukum. 

"Sehingga adalah wajar apabila terjadi perbedaan perlakuan, perbedaan dalam level playing field, dan perbedaan dalam pertanggungjawaban. Hal ini bukanlah suatu bentuk perlakuan yang tidak adil (unequal treatment) sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon," kata Ramli.

Begitu pula terhadap pengawasan materi siaran konten. Bagi lembaga penyiaran publik materi siaran untuk kepentingan publik diawasi oleh KPI. Sedangkan materi audio visual dalam OTT diawasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan cara penindakan berdasarkan laporan dari masyarakat dan pihak terkait sesuai dengan substansi konten OTT. 

Sementara dalil pemohon yang menyatakan konten yang disediakan oleh penyedia layanan audio visual OTT atau internet tidak diawasi, kata Ramli, merupakan dalil yang keliru dan tidak berdasar sama sekali. 

Terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, atau konten internet, yang memiliki muatan melanggar hukum, bisa disanksi dengan Undang-Undang ITE dan Peraturan Pemerintah tentang PSTE dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memutuskan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.

Kemudian, adanya kewajiban bagi penyelenggara jasa telekomunikasi untuk memblokir konten yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 13 Tahun 2019.

"Bahwa terhadap muatan konten yang dilarang untuk disediakan oleh layanan audio visual OTT telah diawasi dan diatur dalam Bab VII Undang-Undang ITE dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang ITE yang sanksinya diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang ITE," ujarnya.

Selain pengaturan pengawasan konten, penyedia layanan audio visual OTT juga dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 juncto Pasal 8 PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui sistem elektronik. 

"Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka tidak terbukti dalil kerugian konstitusional para pemohon terhadap penerapan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran dianggap telah dibacakan. Sehingga sudah sepatutnya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para pemohon," ujarnya.

Dalam gugatannya, RCTI dan iNews selaku pemohon, menyoal Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang belum mencakup pengaturan penyiaran berbasis internet. RCTI-iNews sebagai lembaga penyiaran berbasis spektrum frekuensi radio yang tunduk kepada UU Penyiaran. Tapi, di sisi lain, banyak siaran yang berbasis internet tidak tunduk pada UU Penyiaran.

Pemohon mendalilkan ketentuan pasal ini telah multi-interpretasi yang pada akhirnya melahirkan kontroversi di tengah publik dan kerugian konstitusional bagi pemohon karena adanya unequal treatment. Karena itu, pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet juga diatur dalam UU Penyiaran.