Abah Alwi dan Firasat Pidato Bung Karno di Malam 30 September 1965

Source : Republika
Sumber :
  • republika

REPUBLIKA.CO.ID, "Abah" Habaib Alwi Shahab pagi tadi wafat. Bagi kami para juniornya jelas merasa sangat kehilangan. Sosok abah yang ceria dan lucu menghiasi memori kami. Ketrampilannya bercerita terbaca pada kesehariannya.

Salah satu kenangan yang melekat adalah kisahnya pada awal tahun 2000-an soal situasi malam jahanam di Jakarta pada 30 September 1965. Kala itu kami sembari reriungan duduk di sofa yang ada di bawah tangga kantor memperhatikan kisah ini. Apalagi selain soal sejarah semua ingin tahu apa latar belakang situasi ibu kota dan Presiden Soekarno saat itu.

Abah Alwi (panggilan akrab Alwi Shahab) bercerita begini. Selaku wartawan muda kantor berita Antara, pada petang hari tanggal 30 September 1965 kantornya meminta agar dia meliput acara Presiden Soekarno pada pukul 09.00 malam di Istora Senayan. Waktu itu Bung Karno akan bicara di depan persatuan Insinyur Indonesia.

"Ya kala itu, bakda Isya saya berangkat ke Senayan dengan naik skuter vespa. Ya Jakarta terkesan seperti biasanya. Semua masih sepi dan gak ada macet. Di jalan Sudiman masih banyak toko buka kala itu. Saya pergi dari rumah saya yang ada di bilangan Kwitang," ujarnya.

Tak lama perjalannya sampai di Senayan. Di sana sudah banyak orang berkumpul. Tentara pun menjaga tempat itu ketat. Ada pasukan pengawal Cakrabirawa di sana. "Seingat saya di dekat situ juga ada panser," kata Abah Alwi.

Namun, meski sudah lewat pukul 09.00 malam, Bung Karno tak kunjung juga datang. Banyak orang yang merasa gelisah. Mereka was-was karena Bung Karno bisa batal datang.

Namun, kekhawatiran ini tak terbukti. Jelang pukul 10.00 malam Bung Karno datang. Dia muncul di depan pertemuan para insinyur dengan di kawal Sobur dan Mualwi Saelan (komandan Cakrabirawa). 

"Setelah itu, Bung Karno pun dipersilahkan memberikan pidatonya. Saya yang wartawan duduk mendengarkan sembari mencatatnya untuk membuat berita," kisahnya lagi.

Meski begitu, lanjut Alwi dia saat itu tiba-tiba terlintas ada sesuatu yang janggal dalam pidato presiden kali ini. Dia tak bicara soal insinyur. Tapi Bung Karno lebih banyak bicara soal filosofi tugas manusia dengan mengutip Mahabarata.

"Bung Karno berpidato soal kewajiban seorang kesatria. Dia mengutip Baghawad Gita, sebuah episode di mana Arjuna enggan berperang melawan saudara sendiri, yang bernama Karna. Bahkan dalam kisah itu Arjuna sempat mogok bertempur dengan meletakan busur panahnya. Dia tak mau melawan saudaranya sendiri," kata Abah Alwi.

Dan Bung Karno menyampaikan kisah itu dengan sangat menarik. Dia ceritakan rayuan Kresna yang berhasil membujuk Arjuna untuk tidak lagi enggan berperang. "Saya ingat Bung Karno mengatakan begini menirukan pernyataan Kresna kepada Arjuna. Kamu adalah satria, tugasnya adalah berperang. Maka lakukanlah kewajiban atau dharmamu. Dalam perang ini tak ada saudara, tapi yang ada adalah dua orang satria yang menjalankan kewajibannya."

Jadi, menurut abah Alwi, Bung Karno malam itu seperti tengah meminta agar para insinyur menjalankan kewajiban tugasnya dengan baik. Tak usah memandang hal lain. Berbaktilah pada negara karena itu tugas seorang satria.

"Setelah Bung Karno pidato acara pun usai. Seingat saya itu kala itu sudah jelang tengah malam. Maka rombongan Bung Karno pun pulang. Dan saya pun pulang ke Kwitang dengan naik skuter. Sepanjang perjalanan tidak merasa ada hal yang aneh. Biasa saja. Jalanan Jakarta tetap saja masih gelap, setidaknya tidak segemerlap sekarang," katanya.

Abah kemudian bercerita bila keesokan harinya baru terdengar ada kehebobahan di ibu kota. Dia pun tahunya menjelang tengah hari. Kala itu mulai sibuk bersliweran isu. Apalagi sejak pagi hari pidato anggota Cakrabirawa soal "Dewan Jenderal yang diamankan" terus disiarkan di RRI.

"Jadi semenjak itu saya berpikir, apakah itu isyarat dari Bung Karno bahwa Indonesia segera memasuki perang Barathayuda seperti kisah dalam Mahabarata? Inilah teka-teki yang saya rasa sampai sekarang," ungkap abah Alwi.

Dan pada hari ini, penyampai teka-teki itu sudah berpulang. Allahumaghfirlahu warhamu, ya Abah Alwi. Salam takzim dan cinta kami!