KPK, Kejagung dan Polri Diminta Usut Mafia Hukum Kasus Djoko Tjandra

Buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra (tengah)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Barita Simanjuntak mengatakan, kolaborasi penegak hukum kejaksaan, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diperlukan untuk menjerat oknum yang diduga terlibat sindikat mafia hukum kasus tindak pidana korupsi Djoko Soegiarto Tjandra.

Menurut dia, kasus dugaan korupsi Djoko Tjandra memperlihatkan praktik mafia hukum lintas profesi seperti oknum penegak hukum, oknum penasihat hukum, oknum pengusaha, dan oknum politikus. Makanya, publik berharap agar kasus sindikat mafia hukum ini dibongkar tuntas oleh aparat hukum.

“Publik tidak mempersoalkan koordinasi dan supervisi, tapi publik mengharapkan para bandit penjahat ini ditindak. Jadi kepolisian, kejaksaan dan KPK harus kerja sama dan kolaborasi,” kata Barita saat dihubungi VIVA pada Senin, 21 September 2020.

Baca juga: MAKI Beberkan Sebagian Percakapan soal King Maker Kasus Djoko Tjandra

Ia menjelaskan, saat dilakukan gelar perkara terhadap kasus ini, terungkap bahwa jaksa Pinangki Sirna Malasari bukan sebagai penyidik dan tidak punya wewenang eksekusi. Namun, tuduhan terhadap jaksa Pinangki ada tiga klaster yakni dugaan suap, tindak pidana pencucian uang (TPPU), dan permufakatan jahat.

“Dalam kaitan permufatakan jahat inilah pada waktu ekspose kami sampaikan bahwa oknum jaksa P (Pinangki) siapa. Dia bukan penyidik, bukan yang punya kewenangan eksekusi, dia bukan siapa-siapa,” ujarnya.

Dalam kasus ini, kata dia, penyidik telah menetapkan tersangka dari oknum pengusaha dan mantan politikus Andi Irfan Jaya dan penasihat hukum Anita Dewi Kolopaking. Kasus Djoko Tjandra disebut sudah kelihatan benang merahnya bahwa diduga ada mafia sindikat atau industri hukum yang bermain.

“Siapa itu di sekitar oknum jaksa P, apa internal atau eksternal? Sudah terlibat juga oknum politisi di sini. Hal ini kan sudah kelihatan,” tutur dia.

Oleh sebab itu, Barita meminta kaitan dengan permufakatan jahat ini yang harus diusut tuntas oleh penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan maupun KPK termasuk adanya yang disebut-sebut dugaan keterlibatan anggota parlemen atau politikus. “Kita sudah menganut negara hukum, equality before the law, due process of the law, semuanya sama,” katanya.

Karena, lanjut Barita, penegakan hukum itu mempertaruhkan institusi dan penegakan hukum. Maka, penegakan hukum harus menganut transparansi, akuntabilitas, dan kredibilitas. “Kalau sudah sedemikian parahnya tidak ditindak tegas, tentu publik menduga metamorfosis sindikat hukum ini akan merusak dan terus-menerus menggerogoti penegakan hukum. Ini tak bisa dibiarkan,” ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Ali Mukartono menepis adanya isu Kejaksaan Agung mau melindungi pihak lain, sehingga mempercepat proses Jaksa Pinangki. Menurut dia, penyidik bekerja sesuai alat bukti.

Untuk itu, Ali meminta publik mengikuti sidang kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan terdakwa jaksa Pinangki pada Rabu, 23 September 2020. Sehingga, bisa mengetahui apakah ada istilah ‘king maker’ atau tidak dalam proposal ‘action plan’.

“Tunggu hari Rabu dibaca nanti, ada atau enggak (king maker). Selama itu tidak ada pembuktian, untuk apa (ditindaklanjuti). Kalau ada pembuktian, baru (ditindaklanjuti). Itu jadi isu-isu sementara orang, tapi kita tidak terpengaruh. Tapi kalau ada nilai pembuktian, baru kita,” kata Ali.

Mantan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Nasdem Sulawesi Selatan, Andi Irfan ditetapkan sebagai tersangka kasus permufakatan jahat dalam pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Djoko Tjandra bersama-sama jaksa Pinangki.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono mengungkap Andi Irfan adalah orang yang memberikan uang Djoko Tjandra sebesar US$500.000 kepada terdakwa Pinangki. Dari uang US$500.000 itu, Pinangki memberikan sebagian kepada Anita Kolopaking sebesar US$50.000 sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum.

“Sedangkan, sisanya sebesar US$450.000 masih dalam penguasaan terdakwa Pinangki,” tutur dia. (art)