Fadli Zon Usul Sumatera Barat Ganti Nama Jadi Minangkabau

Fadli Zon diwawancara awak media.
Sumber :
  • VIVAnews/Adi Suparman

VIVA – Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Fadli Zon mengusulkan agar Provinsi Sumatera Barat diganti nama menjadi Minangkabau. Menurutnya, usulan tersebut bukan hal baru karena sudah muncul sejak 1970-an. 

Bagi dia, usulan tersebut relevan. Fadli yang juga ketua Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) menilai, usulan pergantian itu tepat. Salah satunya nama Minangkabau merujuk dari sisi sejarah dan kebudayaan.

"Saya setuju usulan penggantian nama tersebut. Nama Minangkabau jauh lebih tepat dipakai jika ditinjau dari sisi sejarah dan kebudayaan. Apalagi, secara demografis, 88,35 persen masyarakat yang hidup di Sumatera Barat memang berasal dari etnis Minangkabau," kata Fadli, dalam keterangan resminya, Rabu, 23 September 2020.

Namun, ia menekankan, usulan pergantian nama tersebut bukan didorong sentimen etnisitas yang dangkal. Ia menyinggung nama provinsi lain seperti Aceh, Papua, atau Bali yang juga ada sejarahnya.

"Dan, itu ada hubungannya dengan keistimewaan sejarah, budaya, dan identitas yang melekat pada etnis bersangkutan. Saya menilai, masyarakat Minangkabau juga layak mendapatkan kehormatan serupa itu," tutur Fadli.

Baca Juga: Andre Rosiade ke Kapitra: Kami Ini Orang Sumatera Barat Loyal NKRI

Pun, ia merincikan beberapa alasan nama Minangkabau layak jadi provinsi. Pertama, nama Minangkabau lebih mewakili identitas, kebudayaan, serta kesejarahan masyarakat yang ada di Sumatera Barat. Berbeda dengan nama Sumatera Barat yang asosiasinya hanya terkait wilayah administratif.

"Jadi, bobot nama Minangkabau jauh lebih besar dibanding nama Sumatera Barat. Sebab, kalau kita bicara Minangkabau, maka tarikan sejarahnya merentang hingga jauh ke belakang, jauh sebelum Indonesia lahir," ujarnya.

Kemudian, alasan lain yaitu daerah Minangkabau punya posisi dan pengaruh politik istimewa terhadap sejarah pembentukan Republik Indonesia. Salah seorang penggagas Republik Indonesia pada 1925 adalah orang Minang yaitu Tan Malaka. 

Selain Tan Malaka, ada figur Sjafruddin Prawiranegara yang sempat memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Bukittinggi sebagai ibu kotanya. 

"Adanya PDRI ini pula yang kemudian memberi kita legitimasi untuk meneruskan perundingan dengan Belanda di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Tanpa PDRI belum tentu ada NKRI. Karena PDRI juga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949, setelah perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB)," ujar anggota DPR itu.

Lalu, besarnya kiprah Minangkabau dalam sejarah Republik. Secara demografis, jumlah etnis Minangkabau di Indonesia hanya berkisar sekitar 3 persen dari total jumlah penduduk. "Namun, peran orang Minangkabau dalam sejarah Indonesia jauh lebih besar dari itu," sebutnya.

Dia menambahkan, alasan lain di bidang politik yaitu peran dan dominasi orang Minang dalam masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini terutama dalam periode 1920-an hingga 1960-an. 

"Dari empat orang Bapak Republik yang namanya paling sering disebut, yaitu Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka, tiga di antaranya adalah orang Minang. Mohammad Hatta adalah Proklamator RI bersama Soekarno," lanjut Fadli.

Fadli juga menyinggung komposisi sesudah Indonesia merdeka. Ia bilang satu orang Minang pernah menjabat Wakil Presiden RI yaitu Mohammad Hatta. Kemudian, empat orang jadi Perdana Menteri seperti Sjahrir, Hatta, Abdoel Halim, dan M. Natsir.

Dia menambahkan, merujuk data dari ilmuwan sekaligus prosesor politik asal Amerika Serikat Crawford Young, pada periode 1945 hingga 1970 diketahui sekitar 14 persen anggota kabinet diisi orang-orang Minang.

Maka itu, ia menyinggung jika ada pihak yang sering teriak-teriak NKRI harga mati mesti melihat sejarah.

"Jangan lupa, orang yang mengusulkan mosi integral, yaitu mempersatukan kembali wilayah NKRI yang tercerai-berai ke dalam sejumlah negara bagian, itu juga orang Minang. Namanya Mohammad Natsir," ujarnya.

Menurut Fadli, pengubahan nama jadi Minangkabau merupakan hal lazim. Ia menyoroti saat Ujung Pandang menjadi Makassar. Nama Makassar dinilainya lebih dekat dengan identitas masyarakat setempat. 

"Nama resmi Aceh bahkan pernah beberapa kali diubah. Begitu juga Irian Jaya diganti nama dengan Papua di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Sehingga, usulan perubahan nama Sumatera Barat menjadi Minangkabau merupakan hal yang lumrah dan lazim," tutur Fadli.