Penularan Corona Terasa Semakin Dekat, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Lebih dari 8.000 warga Indonesia telah kehilangan nyawa mereka saat pandemi COVID-19.
Sumber :
  • abc

Adinda Proehoeman setidaknya sudah mendengar lima kabar berita kematian dalam tiga pekan terakhir.

Adinda yang tinggal di Jakarta mengaku jika berita-berita tersebut membuatnya merasa COVID-19 semakin dekat dengan lingkaran kehidupannya.

"Kalau dulu mungkin kita mendengar kabar dari orang lain yang tidak kita kenal, tapi sekarang mulai bermunculan dari keluarga atau pertemanan," ujar Adinda kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Kabar terbaru yang ia dapatkan adalah dari temannya di saat SMA, yang menyiarkan langsung di Instagram kondisinya yang sedang sakit COVID-19 dan dirawat di rumah sakit.

"Sejujurnya melihatnya menyebabkan anxiety [kecemasan], langsung kepikiran seharian, tidur saja tidak tenang," kata Adinda.

Adinda mengaku jika berita duka atau berita ada yang tertular membuatnya cemas tapi justru semakin menjaga diri dan keluarganya. (Koleksi pribadi)

Kemungkinan kenal dari satu orang yang tertular

Jika Anda sama seperti Adinda yang belakangan lebih sering mendengar kabar duka atau kabar ada yang sakit di saat pandemi COVID-19, mungkin salah satu penyebabnya karena lingkaran penularan virus corona semakin kecil.

Firdza Radiany, adalah salah satu inisiator dari Pandemic Talks di Jakarta yang banyak memberikan edukasi soal COVID-19 di jejaring sosial berdasarkan data yang tersedia.

Firdza Radiany, seorang praktisi marketing communication dan analis data yang juga merupakan inisiator Pandemic Talks. (Istimewa)

Firdza menjelaskan tim-nya pernah membuat rasio kasus COVID-19 per 1.000 orang di Jakarta.

Hasilnya ditemukan satu dari 196 orang di DKI Jakarta pada pekan lalu terpapar virus corona, atau rasio 1:196.

Lalu mereka menghubungkannya dengan teori Profesor Robin Dunbar, seorang psikolog di Inggris, yang menyebutkan setiap orang hanya mampu menjalin pertemanan sejati tidak lebih dari 150 orang.

"Jika pertambahan kasus di Jakarta rata-rata seribuan seperti sekarang, maka dalam satu minggu ke depan rasio penularan sudah akan memasuki inner circle, yaitu 1:150," ujar Firdza kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.

"Artinya dari satu orang yang tertular COVID-19 di Jakarta, pasti ada di antaranya orang yang merupakan inner circle kita," jelasnya.

"Di lingkungan keluarga saya sendiri sudah mulai terdengar, misalnya mertua dari adik ipar saya meninggal karena COVID-19. Kemudian sepupu saya juga sudah terinfeksi," kata Firdza.

Salah satu infografis yang ditayangkan oleh Pandemic Talks di akun Instagramnya soal penularan yang semakin dekat. (Instagram Pandemic Talks)

Perlukah kita meninggalkan grup Whatsapp?

Menghindari Facebook atau keluar dari "Whatsapp group" bukanlah menjadi solusi agar tidak terlalu banyak mengetahui siapa yang tertular dan siapa yang meninggal saat pandemi COVID-19.

Seperti yang dikatakan oleh Dr Margaretha Sih Setija Utami, Dekan Fakultas Psikologi di Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang, Jawa Tengah.

Kepada ABC Indonesia, Dr Margaretha mengatakan informasi yang didengar atau diterima justru sebaiknya diolah agar membuat kita lebih waspada terhadap penularan corona.

"Kita kemudian bisa mencari cara pencegahan agar tidak tertular, tapi kalau kemudian tertular sudah tahu harus kemana dan tahu apa yang dilakukan agar tak menulari keluarga dan tetangga," ujarnya.

"Jika kita melatih diri untuk bisa menghadapi bahaya besar, maka kecemasan akan berkurang," jelasnya.

Adinda pun sudah melakukan hal yang sama dengan terus mengikuti protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19, termasuk lebih banyak beraktivitas di rumah.

"Mungkin karena saya punya anxiety [kecemasan] membuat sangat berhati-hati sampai dianggap orang lain "parno"," ujarnya.

Bagaimana dengan serangan "hoax"?

Permasalahan lain yang dialami banyak warga pengguna jejaring sosial ini adalah banyaknya penyebaran berita-berita "hoax" soal COVID-19 atau informasi yang malah membuat warganya menjadi bingung.

Adinda mengaku ia menyayangkan melihat warga yang tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan karena membaca atau mendengar berita yang tidak benar.

Seperti yang juga dialami oleh beberapa relawan dan pekerja COVID-19 saat berhadapan langsung dengan warga yang percaya teori konspirasi.

Dr Margaretha mengatakan perlu adanya peranan pemerintah dengan memanfaatkan sistem kelompok masyarakat yang sudah ada.

"Misalnya lewat kelompok PKK … ibu-ibu punya pengaruh besar di keluarga dan bisa diajari mengolah informasi agar mereka menjaga diri dan keluarganya dari COVID-19."

Ia juga mencontohkan kelompok RT yang beranggotakan para bapak juga menjadi sebuah sistem yang belum dimanfaatkan maksimal.

"[Akibatnya] media sosial mengambil kuasa dari sistem yang ada dan menjadi bola liar yang menjadikan informasi yang tidak terkendali."

Atau Anda bisa melakukan seperti yang diterapkan oleh Adinda bersama dengan beberapa temannya di grup Whatsapp.

"Kita sepakat membuat peraturan dengan tidak boleh menyebarkan berita-berita COVID-19 yang tidak jelas atau hoax," ujarnya.