Tak Efektif, KPK Minta Subsidi LPG 3 Kg Diganti Bantuan Langsung

Warga memperlihatkan tabung Liquefied Petroleum Gas (LPG) ukuran 3 kg di Depot LPG Pulau Layang, Plaju, Palembang, Sumatera Selatan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah dan Pertamina mengevaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi. Sebab, berdasarkan kajian yang dilakukan sejak Januari hingga Juli 2019, KPK menemukan tata kelola program LPG 3 kg tidak efektif dan bermasalah.

Baca Juga: KSPI Bongkar Pengkhianatan DPR atas Kesepakatan Bersama Buruh

KPK juga merekomendasikan agar pemerintah memperbaiki database untuk penerima usaha kecil menengah (UKM). Selain itu, KPK meminta pemerintah mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke bantuan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. Penyaluran bantuan langsung dapat menggunakan basis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). 

"Pemerintah mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke Pertamina menjadi bantuan langsung atau targeted subsidi dalam bentuk cash transfer, dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT) atau sekarang dikenal dengan DTKS yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi energi," kata Plt Jubir KPK, Ipi Maryati kepada awak media, Kamis, 8 Oktober 2020.

Ipi membeberkan, program konversi minyak tanah ke LPG yang dilakukan pemerintah pada 2007 bertujuan antara lain untuk diversifikasi pasokan energi, efisiensi anggaran, dan mengurangi subsidi minyak tanah. Tapi, beban pemerintah justru membengkak setelah minyak tanah dikonversi ke LPG. Subsidi minyak tanah pada 2008 mencapai Rp47,61triliun, dan setelah dialihkan menjadi subsidi LPG nilai subsidi meningkat menjadi Rp58,14 trilliun. 

Data per 2018 penerima subsidi terdiri atas 50 juta rumah tangga; 2,29 juta usaha mikro; dan 47.554 nelayan. Distribusi paket pada rentang 2007 – 2018 untuk tiga kelompok penerima subsidi tersebut mencapai 57,65 juta paket. 

"Upaya pemerintah untuk konversi penggunaan minyak tanah menjadi LPG dengan subsidi harga komoditas terbukti tidak efektif, dengan meningkatnya anggaran subsidi melebihi subsidi minyak tanah," ujarnya.

Ipi menambahkan, kajian ini dilakukan untuk memetakan potensi kerawanan dan permasalahan dalam program LPG bersubsidi, serta merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional dalam program LPG bersubsidi. Dari kajian yang dilakukan, KPK menemukan tata kelola program LPG 3 kg bermasalah sejak dari proses perencanaan, operasional, pengendalian hingga pengawasan.

"Subsidi harga LPG 3 kg bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan serta mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup terbukti gagal," kata Ipi. 

Persoalan pada aspek perencanaan misalnya, KPK menemukan tidak jelasnya kriteria pengguna LPG bersubsidi. Tidak ada kriteria spesifik atau definisi masyarakat miskin penerima subsidi. Selain itu, tidak jelas jenis usaha mikro apa saja yang dimaksud yang bisa menerima subsidi serta penentuan kriteria usaha mikro diserahkan ke pangkalan.

"Tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi. Usulan dari daerah tidak didasarkan pada data calon penerima yang valid. Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut. Pada 2018, dari 404 kabupaten/kota hanya 67 yang mengajukan usulan penerima subsidi dan diterima oleh Kementerian ESDM," ujarnya.

Sementara dari aspek pelaksanaan, KPK menemukan lemahnya sistem pengawasan distribusi dan kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook dengan benar. 

Selain itu, KPK juga menemukan minimnya sanksi yang diberikan Pertamina kepada agen, serta dari agen kepada pangkalan yang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET) atau logbook tidak sesuai. KPK juga menemukan lemahnya kendali dalam implementasi penetapan harga eceran tertinggi, tidak ada ketentuan mengenai bagaimana pemda mengatur HET dan Kementerian ESDM pun tidak mengevaluasi HET Pemda.

"Agen jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya, seperti Pertamina tidak selalu mengawasi agennya. Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota tidak mempunyai wewenang untuk menindak, hanya bisa memberikan imbauan. Selain itu harga di pangkalan lebih tinggi dari HET dan HET tidak dievaluasi secara berkala," katanya.

KPK juga menemukan tidak operasionalnya pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO). 

Ipi menerangkan, pembagian alokasi ditentukan oleh Kementerian ESDM dengan memperhitungkan kebutuhan per kabupaten/kota sebagaimana usulan. 

KPK menemukan penentuan alokasi per daerah berdampak kesulitan di level operasional, yaitu kekurangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi oleh daerah lain yang kelebihan walaupun berdekatan/berbatasan. Sebaliknya kelebihan di suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain.

“Dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali," ujarnya.