Mengenalkan La Galigo, Sastra Kuno Asli Indonesia Terpanjang di Dunia

Naskah La Galigo yang asli ditulis dalam lembaran daun lontar.-LEIDEN UNIVERSITY LIBRARIES OR. 5475
Sumber :
  • bbc

Sebuah karya sastra asal Sulawesi Selatan yang ditulis ratusan tahun lalu memuat nilai demokrasi, kesetaraan gender, hingga penghormatan pada kelompok transgender. Sekelompok anak muda tengah berupaya memperkenalkan dan melestarikan karya itu.

Naskah kuno itu adalah La Galigo, yang disebut sebagai karya sastra terpanjang di dunia dan diakui oleh UNESCO sebagai bagian Ingatan Kolektif Dunia tahun 2011 silam.

Baru segelintir dari ratusan ribu bait sastra berbahasa Bugis kuno itu yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia karena keterbatasan biaya dan sumber daya manusia, kata seorang peneliti.

Menurut peneliti tersebut, sebanyak 12 jilid naskah itu tersimpan di Universitas Leiden, Belanda, dan banyak lainnya yang terserak di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Australia, membuat total panjang naskah itu "masih belum bisa diperkirakan".

`Seperti the Lord of the Rings`

Louie Buana, 29, terpukau saat pertama kali membaca ringkasan cerita La Galigo terbitan Universitas Gadjah Mada (UGM) Press di bangku kuliah dulu.

Kata `La Galigo` memang selalu ada di kepalanya sejak ayahnya menjelaskan padanya bahwa tak hanya Jawa dan Bali yang memiliki karya sastra asli. Sulawesi pun punya karya sastra sendiri, yakni La Galigo.

Namun, pemuda asli Makassar itu tak pernah tahu secara spesifik isi cerita itu, sampai dia kemudian membaca ringkasannya.

"Saya baca dan kaget. Wah, ini kok keren banget ya? Ini ceritanya kayak the Lord of the Rings. Ceritanya kalau dibikin jadi film kolosal bisa banget," kata Louie, merujuk kisah fiksi karya penulis Inggris, JRR Tolkien.

"Imajinasinya orang Bugis saat itu gila banget. [Saya] sudah kayak... larut dalam bacaan La Galigo sampai bisa bayangin cerita film fantasi," tambahnya.

Sejak saat itu, Louie mendalami dan meneliti cerita dan tokoh-tokoh dalam La Galigo, yang disebutnya "seakan terlupakan, dormant, dan hibernasi terlalu lama".

Bersama kawannya, Maharani Budi, 30, dan dua temannya yang lain, Louie lalu membentuk `Lontara Project` untuk memperkenalkan La Galigo pada kalangan anak muda.

Hal itu didorong pula oleh keinginan mereka untuk melawan stigma `gemar tawuran` yang menempel pada pemuda Makassar, dengan memperkenalkan sesuatu yang positif dari tanah Sulawesi.

Sejak 2011, mereka mengumpulkan relawan-relawan untuk berpartisipasi dalam sejumlah proyek mempromosikan La Galigo melalui medium musik, desain grafis, hingga diskusi-diskusi.

Awal tahun depan, mereka berencana meluncurkan sebuah buku visual La Galigo yang menyasar anak muda.

"Kami rencananya mau merangkum isi-isi La Galigo yang kami pelajari selama 10 tahun belakangan dalam bentuk buku, yang kami sebut mini ensiklopedia La Galigo."

"Tentunya dengan bahasa yang lebih menarik untuk generasi muda dan disertai 1001 visualisasi untuk memudahkan pembaca," kata Maharani.

Interpretasi seni La Galigo sendiri sebelumnya sudah ditampilkan oleh sutradara asal Amerika Serikat, Robert Wilson.

Ia menggelar pertunjukan teater di AS, beberapa negara Eropa, Asia, dan di Jakarta tahun 2019 lalu.

Apa isi La Galigo?

Profesor Nurhayati Rahman, pakar filologi Universitas Hasanuddin, Makassar, yang telah mendedikasikan lebih dari 30 tahun masa hidupnya untuk mempelajari La Galigo, mengamini keunikan karya sastra itu.

Ia menjelaskan karya yang diperkirakan sudah ada sejak abad-14 itu, awalnya diceritakan secara tutur, kemudian ditulis di lembaran-lembaran daun lontar.

Karya itu, katanya, menggambarkan sifat perantau dan karakter khas orang Bugis "dengan segala kelebihan dan kekurangannya".

Cara pengisahannya unik dan layaknya sastra modern, karena memuat kisah balik (flashback) hingga hal yang akan terjadi di masa depan (flash-forward).

Nurhayati mengatakan naskah itu tak ditulis satu orang tunggal, tapi ditulis secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi yang lainnya.

`Kesetaraan gender hingga demokrasi`

Dikisahkan, Sawérigading, tokoh utama dalam La Galigo, bertemu, bercinta, dan bertunangan dengan putri Senrima Wéro dari kerajaan langit (Boting Langiq).

Namun, pernikahan mereka terhalang perbedaan keinginan di antara keduanya.

Sawérigading ingin membawa tunangannya itu ke dunia manusia, tapi Senrima Wéro berkukuh tinggal di langit.

Perkawinan pun akhirnya batal. Namun, keduanya berjanji untuk tetap berhubungan baik seperti layaknya saudara.

Cerita ini menunjukkan perempuan bukan sosok inferior dalam budaya Bugis Kuno. Mereka digambarkan memiliki prinsip dan tegas dalam mengambil keputusan.

"Hubungan antara laki-laki dan perempuan berlangsung setara, tanpa ada dominasi antara satu dan lainnya," ujar Nurhayati.

Louie Buana menambahkan tentang cerita kepemimpinan perempuan dalam La Galigo.

"Tokoh adik kembarnya Sawérigading, We Tenri Abeng, itu adalah ratu yang punya sifat-sifat kepempimpinan. Jadi, kepemimpinan itu tidak ekslusif untuk laki-laki.

"Ketika dia dipaksa menikah, dia juga bisa menolak. Untuk ukuran saat itu ini kan tergolong langka ya," kata Louie.

Louie menyebut tokoh perempuan lainnya, I We Cudai, sosok yang disebutnya berani dan tak ragu menyatakan ketidaksepahaman.

Sifat ini lah, yang kata Louie, juga "khas orang Makassar".

Selain itu, perempuan juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sebagaimana diperlihatkan dalam kisah penciptaan manusia pertama.

Dikisahkan, penguasa langit, Datu Patotoqé melibatkan istrinya dalam diskusi itu, juga dewa-dewa lain yang hidup di laut, salah satu contoh yang menggambarkan demokrasi dan kesetaraan, kata Louie.

Lebih lanjut, Profesor Nurhayati Rahman mengatakan La Galigo tidak menampilkan tokoh budak atau tokoh hamba sahaya yang hina dina, sebagaimana yang sering diceritakan dalam sastra daerah lainnya.

`Transgender dan gender kelima yang suci`

Tak hanya perempuan, La Galigo juga memberi penghormatan sangat tinggi bagi calabai (laki-laki yang berperan seperti perempuan), calalai (perempuan yang berperan seperti laki-laki), juga mereka yang disebut sebagai `gender kelima`, atau tak masuk kategori pria atau perempuan.

Bissu, pendeta adat Bugis, termasuk dalam gender kelima ini, yang mendapat penghormatan tinggi di La Galigo.

"Bissu menganggap dirinya independen, bukan laki-laki atau perempuan, karena kalau dia memihak, dia tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan.

"Mereka [Bissu] itulah yang menerjemahkan ritual-ritual ke dalam kehidupan keseharian warga," kata Nurhayati Rahman.

Ia menambahkan para bissu juga lah masih bisa membaca naskah La Galigo dalam aksara Lotara.

Meski mayoritas orang Bugis kini beragama Islam, Bissu masih kerap diundang dalam upacara-upacara adat yang ada.

Bissu Eka dari dari Segeri, mengatakan bissu adalah perantara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, juga dengan alam.

Posisi bissu sangat erat kaitannya dengan sastra La Galigo, karena "25 persen naskah itu bercerita tentang peranan bissu dan memuat pedoman bagi mereka untuk bertingkah laku," ujarnya.

Lebih lanjut, nilai toleransi tercermin dari pengakuan atas lima gender di naskah itu.

"Untuk mencapai kesempurnaan harus ada lima gender," ujarnya.

La Galigo, kata bissu Eka, juga mengangkat derajat para bissu yang kerap didiskriminasi, bahkan pernah jadi buruan dalam gerakan pemurnian ajaran Islam atau "Operasi Toba" (operasi taubat) tahun 1966.

`Bangkit jadi pemain`

Nurhayati Rahman berharap anak-anak muda dapat menerjemahkan La Galigo dengan cara kekinian karena ia memahami akan sulit bagi generasi muda untuk memahami La Galigo dalam bentuknya yang asli.

"Tapi, nilai-nilainya itu harus mereka adopsi," kata Nurhayati.

Menurutnya La Galigo bisa diadaptasi dalam bentuk film, animasi, maupun gim.

Maharani Budi dari Lontara Project mengatakan dia berharap buku yang akan diterbitkan tidak hanya akan disambut dalam lingkungan komunitas, tapi juga dapat berkontribusi pada industri kreatif Indonesia.

"[Harapannya] bukan lagi konteksnya kita ngomongin La Galigo sebagai kesukaan saja atau pekerjaan sampingan beberapa orang, tapi bisa bangkit jadi pemain dalam industri kreatif Indonesia," kata Maharani.

Louie Buana menambahkan apa yang disebutnya sebagai konservasi kreatif bisa dilakukan semua orang muda.

"Semua generasi muda bisa melakukan konservasi kebudayaan dengan caranya sendiri-sendiri, nggak harus dipatok seperti apa.

"Kamu bisa gunakan apa yang kamu punya untuk ikut kontribusi lestarikan La Galigo," katanya.

`Pentingnya transkripsi dan translasi`

Untuk mendukung anak-anak muda memperkenalkan La Galigo dengan cara kekinian, Nurhayati Rahman berharap sembilan naskah La Galigo di Belanda dapat ditranskripsi dan diartikan dalam bahasa Indonesia.

"Mau tidak mau, mereka [anak muda] harus baca naskah aslinya dulu, perlu diterjemahkan," kata Nurhayati.

Hingga kini, baru tiga jilid La Galigo di Belanda yang diterjemahkan dari bahasa Bugis kuno ke dalam bahasa Indonesia.

Sembilan jilid lainnya, yang disimpan di Universitas Leiden Belanda, belum diterjemahkan karena keterbatasan biaya hingga sumber daya manusia, kata Nurhayati.

Karya yang disimpan di Belanda itu panjangnya lebih setara 6.000 halaman folio dengan 300.000 bait, sehingga lebih panjang dari karya Ramayana dari India atau Odyssey karya Homer dari Yunani.

Namun, menurut Nurhayati, apa yang disimpan di Belanda itu baru sepertiga dari total naskah La Galigo.

Sisanya masih tersebar di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat hingga Australia, membuat total panjang naskah itu "belum bisa diperkirakan", ujarnya.