Debat Sengit, Natalius Pigai Vs Yorrys soal Deklarasi Benny Wenda

Yorrys Raweyai dan Natalius Pigai dalam acara Dua Sisi tvOne
Sumber :
  • tvOne

VIVA –  Benny Wenda kembali heboh dan jadi kontroversi karena klaim dan pengakuannya sebagai presiden di Papua Barat. Pemerintah RI sudah merespons manuver tokoh kemerdekaan Papua Barat itu sebagai makar.

Hal ini dibahas dalam diskusi Dua Sisi tvOne 'Benny Wenda Deklarasi: Apa Respons Pemerintah?' Dalam salah satu sesi acara tersebut, terjadi adu argumen antara eks Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai dengan anggota DPD asal Papua, Yorrys Raweyai.

Pigai mengawali pandangannya terkait upaya kemerdekaan Papua Barat sudah sering kali mencuat sejak 1969. Ia meminta penjelasannya selama tiga menit tak dipotong.

Menurutnya, referendum atau plebisit pada 1969 dari sudut pandang intelektual Papua tak sesuai dengan standar internasional merujuk Persetujuan New York antara Indonesia dengan Belanda.

"Itu cara plebisit menurut intelektual papua, tidak sesuai dengan standar internasional menurut New York agreement. Menurut kelompok intelektual papua, plebesitnya dilakukan hanya terhadap 1.280 orang dari 800 ribu orang Papua," kata Pigai dikutip VIVA pada Sabtu, 5 Desember 2020.

Pigai menyebut ketika itu intelektual Papua sampai Bupati Paniai saat itu melakukan aksi penolakan referendum. Namun, kata dia, pemerintah RI saat itu melalukan pendekatan politik melalui pendekatan prosperity. Pun, pendekatan lain dari militeristik agar doktrin orang Papua ikut integrasi.

"Sampai perjalanannya, 20 tahun otonomi khusus dikasih, angka yang menurut BPS resmi sejak 2001 sampai 2019 itu 26 ribu orang Papua masih miskin bertambah. Jadi, ini bertambah ya, bukan menurun," jelas Pigai.

Dia menyebut dari data yang dimilikinya, aspek prosperity (kemakmuran) rakyat Papua tak tercapai. Pun, fenomena kemiskinan dan kebodohan di Papua masih meninggi. Belum lagi, adanya pelanggaran HAM yang masih masif.

Pigai menyinggung setelah Jokowi menjadi presiden, muncul seolah adanya skenario Papua phobia dan rasisme.

"Hari ini, orang Papua yang orang kulit hitam dan rambut kriting, tidak suka orang Indonesia melayu dan Jawa," sebut Pigai.

Dia menyebut, upaya deklarasi didukung sebagian besar rakyat Papua dengan lebih 90 persen.

"Dalam konteks ini ketika Anda katakan siapapun orang Papua yang mendeklarasikan untuk dignity dan harga diri orang Papua, sudah pasti 90 persen lebih menerima," ujar Pigai. 

Baca Juga: Profil Benny Wenda yang Mendeklarasikan Sebagai 'Pesiden' Papua Barat

Merespons Pigai, giliran Yorrys menyampaikan pandangannya. Ia bilang upaya deklarasi Papua sudah dilakukan sejak 1971.

Namun, ia menekankan agar masalah Papua diselesaikan secara komprehensif. Apalagi, soal otonomis khusus atau otsus Papua sudah mau selesai.

"Dalam konteks NKRI dalam otsus yang sudah mau selesai, itu lebih fokus dari pada hal-hal yang menurut saya biarian saja," tutur Yorrys.

Dia mengklaim pernah bertemu dengan hampir semua kelompok seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Menurut Yorrys, mereka mau berdialog. Kata dia, pihak Forum Komunikasi dan Aspirasi MPR RI untuk Papua siap memfasilitasi.

"Cuma bisa nggak kalian buat kerangka dialog," jelas Yorrys menirukan ucapannya dalam dialog tersebut. 

Ucapan Yorrys sempat disanggah Pigai. Ia meminta Yorrys untuk segera melaratnya.

"Jadi, Anda pernyataannya harus perbaiki," kata Pigai.

"Kau dengar dulu. Saya paham, kita  ikutin proses," tutur Yorrys.

Mantan politikus Golkar itu mengatakan agar jangan memberikan narasi provokatif yang mengarahkan penegakan hukum di Tanah Papua banyak korban orang tak berdosa. Maka itu, menurutnya tugas Forum Komunikasi dan Aspirasi MPR RI untuk Papua agar menjelaskan ini dengan pemerintah. Lalu, melakukan advokasi, menjelaskan dan berbicara tentang status Papua sekarang.

Dia mengatakan adanya pasukan TNI di Papua karena ada tujuan yang mesti dilihat dengan arif dan bijaksana. Ia menekankan demikian karena sudah berdiskusi dengan Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Idham Azis, dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD.

Yorrys menyinggung Papua di bawah Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III atau Kogabwilhan III.

"Sekarang kenapa dilakukan penegakan hukum karena kami pertanyakan status. Bahwa dengan penempatan 10 batalyon di sana dipimpin oleh Pangkogabwilhan dengan tiga bintang, apakah statusnya daerah operasi militer atau darurat sipil? Tidak," jelas Yorrys.

Kata dia, TNI dikerahkan karena perlunya penegakan hukum terhadap kelompok masyarakat bersenjata yang melakukan intimidasi.

"Mereka dalam rangka melakukan penegakan hukum karena ada kelompok-kelompok masyarakat yang secara ilegal memiliki senjata kemudian melakukan intimidasi. Ini melanggar hukum," sebut Yorrys.