Haris Azhar: Saya Bingung, Ayo Vaksin Kok Kayak Sunatan Massal

Aktivis HAM Haris Azhar
Sumber :
  • tvOne

VIVA –  Pernyataan pemerintah yang mewajibkan rakyat vaksin COVID-19 Sinovac produk China jadi pro dan kontra. Ada suara yang menolak divaksin karena meragukan proses uji klinis dan efikasi dari Sinovac.

Hal ini jadi pembahasan dalam acara diskusi Dua Sisi tvOne dengan tema 'Vaksinasi: Hak Atau Kewajiban?'. Hadir dalam acara ini yakni Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo, Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. H.N. Nazar, dan aktivis HAM Haris Azhar.

Awal diskusi mendengarkan suara kontra yang disampaikan Haris Azhar yang mengaku belum bersedia divaksin karena tak yakin dengan kualitas Sinovac. Ia menjelaskan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang harus jadi rujukan ibarat rumah besar dalam persoalan ini.

"Kalimat pertamanya kesehatan itu hak asasi manusia. Kalau hak itu artinya harus diberikan kepada kita. Bukan kita diwajibkan. Nah, kewajiban dalam HAM itu akan muncul ketika kita menghormati haknya orang lain. Jadi di situ lah kita dibatasi. Bukannya kita diwajibin gitu nggak," kata Haris dikutip VIVA pada Jumat, 15 Januari 2021.

Dia mengaitkan hal ini dengan ancaman sanksi jika warga enggan divaksin Sinovac. Maka itu, suara ancaman pemerintah soal ancaman sanksi pidana yang menggunakan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dianggapnya limitatif.

"Limitatif artinya saya bisa dipidana jika mengakibatkan sejumlah hal. Nah, kalau saya tak mau divaksin. Maka negara lewat aparaturnya harus menjelaskan kalau kamu tak mau divaksin, kamu perginya ke sini, kamu badan kamu melekat ini, di dekat kamu ada apa, harus dijelaskan," jelas Haris.

Dia heran dengan cara pemerintah melakukan pendekatan wajib vaksin ke rakyatnya. Menurutnya, dengan jumlah 267 juta penduduk tak semuanya bersedia divaksin Sinovac. "Saya merasa dari negara itu proporsional aja. menjelaskan kepada masyarakat. vaksin kita ini baru dua kali uji klinis," lanjutnya.

Dia pun setuju dengan pernyataan dokter Tirta Mandira Hudhi terkait polemik vaksin. Ia mengutip inti ucapan Tirta bahwa vaksin jadi pelengkap dari berbagai hal yang diamanatkan lewat UU Kekarantinaan Kesehatan. "Jadi, PSBB pengetatan, nutup bandara, dan lain-lain terus berkampanye apa namanya 3M. Jadi, itu semua kelengkapan yang harusnya saling mengisi," tuturnya.

Maka itu, ia menyindir gerakan kampanye ayo vaksin yang disuarakan pemerintah. Padahal, vaksin perlu diketahui rakyat dengan informasi yang jelas.

"Nah, vaksin itu di informasikan bukan dikampanyekan ayo vaksin. Saya agak bingung juga melihat banyak orang ramai-ramai ayo vaksin. Tadi pagi masih lagi. Ini kok saya lihat kayak sunatan massal," ujar Haris.

Haris mengingatkan pentingnya sosialisasi vaksin sevata proporsional dan jujur. Ia mempertanyakan pemerintah yang tiba-tiba membeli dosis Sinovac dengan jumlah banyak. "Bisa kan pesan dulu 2 juta disampaikan kepada target grup yang sesuai target uji klinisnya dulu. Misalnya uji klinisnya hanya kepada anak muda, pada olahragawan, pada ini, pada ini," sebutnya.

Baca Juga: Pakai Kemeja Putih, Jokowi Disuntik Vaksin COVID-19 Sinovac

Bagi dia, pengalaman di Brasil mestinya jadi catatan pemerintah. Apalagi dalam vaksin ini ada kategori orang tak bisa diberikan Sinovac karena alasan tertentu.

"Ada list-list tertentu yang sudah dibuktikan di lab Brasil yang ramai dibicarakan orang bahwa ada kategori sejumlah manusia yang tak masuk target uji klinis. Untuk itu mestinya disampaikan," ujar Haris.

Sinovac Sudah Teruji

Merespons pernyataan Haris, Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga mengatakan Sinovac sudah menyelesaikan uji klinis tahap. Pun, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah mengeluarkan izin bahwa Sinovac aman. 

"Efikasi juga sudah tahu juga. Dan kita harus tahu bahwa jumlah manusia dibandingkan jumlah produksi vaksin yang ada itu jomplang," tutur Arya.

Menurutnya, jumlah manusia di dunia ini berjumlah sekitar 7 miliar jiwa. Angka ini tak sebanding dengan jumlah produksi vaksin yang masih terbatas. Kata dia, kondisi tersebut yang memunculkan perebutan 
akses terhadap vaksin. 

"Makanya PBB, berpikir juga untuk negara miskin. Jangan sampai negara miskin itu tak mendapatkan vaksin," jelas Arya.

Arya menyampaikan pemerintah Indonesia dalam vaksin yang terbatas ini berupaya mengamankan persediaan stok dosis terlebih dulu. Jangan sampai terlambat dan kekurangan stok dosis vaksin yang diperlukan untuk rakyat.

"Karena apa kalau kita kekurangan, kan ini gini, bahwa vaksin bukan tiba-tiba langsung ada. Nggak juga. Ada proses produksinya," sebut Arya.

Kemudian, ia mencontohkan terkait 15 juta dosis vaksin yang baru didatangkan ke Indonesia. Ia menjelaskan 15 juta dosis tersebut bukan berarti langsung siap digunakan.

"Tapi, diproduksi lagi, diproduksi Biofarma sampai pakai botol itu, itu saja butuh satu bulan. Itu tujuh setengah juta vaksin butuh satu bulan untuk bisa didistribusikan. Jadi, butuh proses," kata Arya.