Distribusi Vaksin COVID-19 ke Pulau di Aceh Diangkut Kapal Penumpang

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Distribusi vaksin menjadi sorotan seiring dimulainya program vaksinasi massal COVID-19 di seluruh Indonesia. Sebab, ketidakhati-hatian pun kelalaian dalam pemindahan serta penyimpanan vaksin dari satu pulau ke pulau lain, bisa menyebabkan vaksin rusak.

Untuk mengetahui kondisi di lapangan, wartawan Hidayatullah mengikuti pengantaran vaksin COVID-19 buatan perusahaan China Sinovac itu ke Pulau Aceh menggunakan kapal penumpang.

Proses distribusi itu, menurut Kepala Dinas Kesehatan di Kabupaten Aceh Besar, sudah sesuai dengan kriteria keamanan.

Namun, tenaga kesehatan setempat justru mempertanyakan keamanan pendistribusian vaksin.

Dermaga nelayan di kawasan Lampulo, Kota Banda Aceh, diguyur hujan pada Sabtu (16/01) siang ketika buruh-buruh sibuk mengangkut BBM, bahan pokok, dan kendaraan roda dua ke dalam kapal penumpang KM Sultan Bahari 2.

Dari kejauhan tampak seorang perempuan mendekati kapal sembari menjinjing dua kotak biru. Kerudung hijau mudanya sempat kena tetesan air hujan saat dia bergegas masuk ke dalam ruang kemudi.

Dari sudut jendela, terlihat dia duduk bersila dengan memangku satu kotak biru, satu lainnya ditaruh di sampingnya.

Dia adalah Arina Astuti, Koordinator Imunisasi Puskesmas Pulo Aceh. Kedua kotak biru yang dibawanya adalah wadah pendingin berisi 92 dosis vaksin COVID-19.

"Kalau saya itu sudah biasa merawat vaksin, karena kita daerah kepulauan. Memang begitu keadaannya. Vaksin dari darat kita bawa ke sini, harus kita jaga kualitasnya, jaga semuanya. Vaksin itu kan sensitif, kalau kita tidak menjaga sesuai suhu sesuai dengan ketentuan yang ada, maka akan rusak vaksinnya," kata Arina kepada Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Puluhan dosis vaksin yang dibawa Arina sejatinya sudah tiba di Provinsi Aceh sejak 5 Januari lalu.

Vaksin-vaksin itu adalah bagian dari 14.000 dosis vaksin COVID-19 buatan Sinovac yang didatangkan ke Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda melalui kargo pesawat.

Vaksin tersebut diprioritaskan untuk tenaga kesehatan yang berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Pendistribusiannya sudah dilakukan sejak Jumat (15/01).

Namun tidak semua puskesmas di Kabupaten Aceh Besar bisa langsung membawa vaksin ke tempatnya lantaran terkendala dengan sarana transportasi.

Contohnya Puskesmas Pulo Aceh yang terletak di pulau terluar Provinsi Aceh.

Karena tidak ada transportasi laut yang beroperasi pada hari Jumat, mereka harus menitipkan vaksin-vaksin itu ke puskesmas lain dan baru bisa diantarkan keesokan harinya menggunakan kapal penumpang.

Gunakan transportasi umum, `tidak sesuai`

Perjalanan menuju Pulau Aceh ditempuh dengan waktu kurang dari dua jam, jika kondisi laut sedang bersahabat. Namun, jika ada cuaca buruk dan gelombang tinggi, perjalanan akan memakan waktu tiga sampai empat jam.

Dengan durasi perjalanan selama itu, Arina rela memangku kotak biru berisi vaksin demi memastikan rantai dingin tetap terjaga.

"Spesial kali kalau vaksin itu. Karena yang kita berikan itu kan untuk keluarga kita juga, warga itu keluarga kita. Jadi apa pun yang kita berikan untuk mereka sama dengan yang kita berikan untuk keluarga kita," kata Arina Astuti, Koordinator Imunisasi Puskemas Pulo Aceh.

Kepala Puskesmas Pulo Aceh, Misriadi, mengatakan proses distribusi vaksin dengan menggunakan transportasi umum sesungguhnya tidak sesuai karena vaksin harus dijaga kesterilannya. Namun, dia tidak punya pilihan lain.

"Sebenarnya itu bukan situasi yang sesuai. Bukan membawa vaksin saja. Misalnya kita mau membawa obat, kalau dengan situasi seperti itu kurang aman memang. Apalagi vaksin, kan tidak mungkin di tempat umum, ada orang ramai, jadi itu memang kurang aman. Cuma mau tidak mau karena kita kendala, karena belum punya angkutan sendiri atau ambulans laut," kata Misriadi, Kepala Puskesmas Pulau Aceh.

Ketiadaan ambulans laut, lanjut Misriadi, sering menjadi masalah terbesar bagi pihaknya, terlebih ketika keadaan darurat kemudian harus merujuk pasien dari pulau menuju rumah sakit umum daerah.

"Kita di sini fasilitas milik pemerintah ataupun milik puskesmas belum ada. Jadi kebiasaan kami kalau emergency, sewa boat nelayan kecil, ukuran 2 meter kali 5 meter. Itu paling muat tiga sampai lima orang. Kalau safety, namanya punya nelayan, mana safety? Sama seperti tadi kita menggunakan kendaraan penumpang dengan bercampur baur semua, jadi tidak safety," kata Misriadi.

Misriadi juga menyoroti pasokan listrik yang sering mati dalam waktu yang lama. Akibatnya, pihaknya harus mengeluarkan biaya operasional lebih untuk membeli bahan bakar minyak bagi generator listrik.

Standar transportasi vaksin

Merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi, alat transportasi vaksin meliputi kendaraan berpendingin khusus, cold box, vaccine carrier, cool pack, dan cold pack.

Namun demikian, pihak Dinas Kesehatan Aceh Besar mengklaim bahwa proses distribusi vaksin COVID-19 ke Pulau Aceh sudah sesuai dengan prosedur yang mereka miliki.

"Sangat standar. Karena bukan masalah lautnya, bukan masalah boat-nya, bukan masalah kapalnya, tetapi vaksin sudah berada di cold box. Itu sudah jelas dan sesuai dengan SOP kami. Vaksin yang dibawa itu harus ada dalam tempat es atau ada cold box sendiri yang dimasukkan vaksin.

"Itu tidak persoalan mau diangkat ke mana saja. Karena sudah tidak ada lagi kendala, bukan masalah pesawat, bukan masalah ambulans, bukan masalah boat laut, tapi standar dari penempatan vaksin itu sendiri," kata Anita, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Besar.

`Mendistribusikan vaksin tidak bisa seperti distribusi obat biasa`

Sementara itu, Jane Soepardi selaku pakar imunisasi dan anggota Himpunan Epidemiologi Indonesia, mengatakan bahwa vaksin harus diperlakukan secara khusus untuk memastikan rantai dingin berada di antara dua sampai delapan derajat Celsius.

"Mendistribusikan vaksin itu tidak bisa seperti mendistribusikan obat biasa—itu enggak bisa. Jadi mulai dari penyimpanannya, mengeluarkannya, memilih tempat untuk menyimpannya, kemudian dikirimkan itu semuanya khusus. Dan orang orang yang melaksanakannya itu dilatih khusus, namanya Chold Chain Manager. Orang-orang itu ada pelatihannya khusus," kata Jane Soepardi.

Jane menambahkan, bahwa vaksin COVID-19 buatan Sinovac berbeda dengan vaksin lainnya. Pada vaksin buatan Sinovac tidak terdapat Vaksin Vial Monitor (VVM). Artinya tidak akan diketahui bahwa vaksin itu masih bagus atau tidak, karena tidak akan terjadinya perubahan warna seperti vaksin lainnya jika sudah di luar rantai dingin.

"Nah, vaksin Covid ini Sinovac ini tidak ada VVM nya sehingga dia sangat bergantung kepada termometer. Sehingga kita harus ekstra hati hati untuk vaksin yang tidak ada VVM ini, karena kita tidak bisa membedakan, dia ini pernah terpapar suhu dua sampai delapan atau tidak," terang Jane.

Merujuk penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun kegagalan rantai dingin menyebabkan kerusakan hingga 50% vaksin di seluruh dunia.

Sementara dalam studi manajemen vaksin yang efektif (EVM) antara Kementerian Kesehatan dan UNICEF tahun 2011 hingga 2012, banyak peralatan dalam rantai dingin di Indonesia tidak dirawat sehingga memicu kerusakan vaksin.

Namun perbaikan telah digenjot, kata Jane Soepardi, sebelum program vaksinasi campak dan rubella massal tahun 2017 dan 2018.

Hingga tahun 2018, merujuk data Kemenkes, 92,2% atau sekitar 9.800 puskesmas telah memiliki rantai dingin yang sesuai standar.

Indonesia sampai saat ini telah mendatangkan 18 juta dosis vaksin COVID-19 buatan Sinovac untuk disuntikkan pada sembilan juta orang yang belum terkonfirmasi positif dan tidak memiliki penyakit penyerta atau komorbid.