KPK Jawab Normatif soal Dugaan Nama Puan dalam Kasus Suap Bansos

Ilustrasi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan terus mengembangkan dan mendalami penyelidikan kasus suap pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat terdampak pandemi COVID-19, di wilayah Jabodetabek.

Salah satu yang turut didalami dalam penyidikan kasus yang salah satunya menjerat mantan Menteri  Sosial Juliari P Batubara itu adalah keterlibatan sejumlah pihak, termasuk diduga Ketua DPR RI sekaligus ketua pimpinan pusat PDIP, Puan Maharani.

"Pada prinsipnya segala informasi yang berkembang dipastikan akan dikonfirmasi kepada para saksi," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada awak media, Senin, 25 Januari 2021.

Baca: KPK Cecar Sekjen Kemensos soal Proses Pengadaan Bansos COVID-19

Ali menegaskan hal itu sekaligus merespons pemberitaan satu media yang menyebut bahwa Puan diduga ikut menikmati proyek itu melalui orang kepercayaannya. Dalam pemberitaan tersebut, Direktur PT Tridiaksi Rohisah Lia disebut mendapatkan jatah pengadaan 199 paket bansos senilai Rp57,63 miliar karena menyebut nama Puan Maharani. 

Lia juga menggunakan PT Tri Perkasa Abadi Cemerlang yang mendapatkan kouta 25 ribu paket senilai Rp6,75 miliar. Dalam pemberitaan media itu, Lia menyangkal menyebut atau melibatkan Puan.

KPK menolak merespons secara berlebihan atas sanggahan-sanggahan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam sengkarut dugaan rasuah. Berbekal informasi dan sejumlah bukti, penyidik KPK akan mengusut kasus ini sampai tuntas.

Salah satu upaya itu dengan memanggil dan memeriksa saksi-saksi yang dianggap mengetahui rangkaian peristiwa kasus.

"Pemanggilan seseorang sebagai saksi dalam penyelesaian perkara tentu karena ada kebutuhan penyidikan. Yang kami panggil dalam pemeriksaan sebagai saksi adalah pihak-pihak yang diduga mengetahui rangkaian peristiwa perkara tersebut sehingga menjadi lebih terang dugaan perbuatan para tersangka dalam perkara ini," kata Ali.

Namun, Ali merespons secara normatif saat disingggung apakah Lia dan Puan telah masuk dalam materi pemeriksaan dalam proses penyidikan kasus ini. Ia juga tidak menjawab lugas soal pemanggilan Lia dan Puan. 

"Terkait materi penyidikan tidak bisa kami sampaikan kepada masyarakat secara detail, nanti pada waktunya akan dibuka di depan persidangan," kata Ali.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK telah menggeledah sejumlah lokasi, di antaranya rumah di Jalan Raya Hankam Nomor 72 Cipayung, Jakarta Timur, dan rumah di Perum Rose Garden Nomor 15, Kota Bekasi, Jawa Barat. Salah satu rumah yang digeledah itu merupakan milik orangtua Wakil Ketua Komisi VIII DPR. 

Dari penggeledahan itu, penyidik menyita alat komunikasi dan sejumlah dokumen terkait kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek. Selanjutnya barang yang telah diamankan itu dianalisa tim penyidik dan disita.

Setelah penggeledahan, lembaga antirasuah juga mengisyaratkan akan memanggil dan memeriksa Ihsan Yunus.

Sejauh ini, KPK baru menetapkan Juliari P. Batubara bersama Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Sosial serta dua pihak swasta bernama Ardian I.M dan Harry Sidabuke sebagai tersangka kasus dugaan suap bansos COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek.

Diduga Wakil Bendahara Umum PDIP itu bersama dua anak buahnya menerima suap senilai sekitar Rp17 miliar dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemsos, dalam pengadaan paket bansos COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.

Kasus itu bermula dari pengadaan bansos penanganan COVID-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan dilaksanakan dengan dua periode. Juliari selaku Menteri Sosial menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan.

Diduga disepakati adanya "fee" dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus Joko Santoso. Fee untuk setiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi Wahyono sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos.

Selanjutnya Matheus dan Adi pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus. Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi Wahyono.

Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari Batubara melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar. Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N, selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.

Sementara pada periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang "fee" dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.

KPK memastikan akan mendalami keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus ini. Lembaga antikorupsi juga akan mendalami dugaan aliran uang ke sejumlah pihak. Pun termasuk dugaan aliran uang ke parpol tempat Juliari bernaung.