Demokrat Khawatir Mengalami ‘Kudeta’ seperti PDI Megawati pada 1996

Ketua Komisi X DPR RI Teuku Riefky Harsya
Sumber :

VIVA – Partai Demokrat menyanggah argumentasi pemerintah bahwa gerakan terselubung ‘kudeta’ atau pengambilalihan kepemimpinan partai itu merupakan masalah internal belaka. Karena itu, sebagaimana disampaikan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Presiden Joko Widodo menolak menjawab surat Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya menegaskan, gerakan upaya ‘kudeta’ itu bukan hanya melibatkan sejumlah kader dan mantan kader, melainkan melibatkan pihak eksternal, yakni Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko.

“Yang dilakukan Sdr. Moeldoko bukan hanya mendukung GPK PD (gerakan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat) tersebut, tetapi yang bersangkutanlah yang secara aktif dan akan mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat yang sah itu,” kata Harsya dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 5 Februari 2021.

Baca: Moeldoko Sedang Kuat, Langkah AHY Ungkap Isu ‘Kudeta’ Dinilai Tepat

Fakta itu, katanya, membuktikan bahwa permasalahan yang AHY sampaikan dalam suratnya kepada Jokowi bukan perkara internal belaka. Dia mengkhawatirkan, jika gerakan itu dibiarkan akan benar-benar mengganggu Partai Demokrat.

Harsya mengingatkan, upaya pengambilalihan kepemimpinan sebuah partai politik untuk melemahkan pengaruh partai itu pernah terjadi di Indonesia. Dia menyebut peristiwa Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Medan pada 22 Juni 1996, yang berhasil menggulingkan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.

“KLB tersebut,” menurutnya, “juga bukan hanya permasalahan internal PDI atau konflik antara kubu Megawati dan kubu Suryadi, tetapi ada campur tangan dan pelibatan pihak eksternal, dalam hal ini elemen pemerintah.”

Dia berpendapat, jika tindakan Moeldoko dibiarkan dan dibenarkan, “yang dengan kekuasaan yang dimilikinya sebagai pejabat negara telah melakukan gerakan untuk mengambil alih kepemimpinan partai secara paksa, tentu sangat menciderai rasa keadilan di negeri ini.”