Asa Jenderal Pimpin Partai Demokrat Keok Lawan Mayor

Moeldoko cium tangan SBY beberapa waktu lalu
Sumber :
  • Twitter @baor23

VIVA – Mimpi Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) TNI Moeldoko untuk kudeta Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY dari jabatan Ketua Umum partai Demokrat besutan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, sementara kandas.

Meski Moeldoko moncer dalam karier militer hingga jabat pimpinan tertinggi, faktanya, garis tangan Kepala Staf Presiden itu untuk pimpin partai tak secerah karier di TNI. Malah karier politik mantan anak buahnya yakni Mayor Inf (Purn) TNI AHY ternyata lebih baik daripadanya.

Gugurnya harapan Moeldoko untuk diakui secara sah oleh negara pimpin Partai Demokrat diumumkan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laolly. Yasonna mengumumkan menolak mensahkan kepengurusan Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa atau KLB Deli Serdang, Sumatera Utara 5 Maret 2021.

Dalam keterangan pers yang dilakukan secara virtual, Yasonna menjelaskan jika alasan menolak kepengurusan Demokrat kubu Moeldoko karena ada syarat yang tidak bisa dipenuhi.

"Dari hasil verifikasi terhadap seluruh kelengkapan dokumen fisik masih tersapat beberapa kelengkapan belum dipenuhi antara lain perwakilan DPD, DPC tidak disertai mandat dari ketua DPD, DPC," ujar Yasonna, Rabu 31 Maret 2021.

Hal itu berdasarkan pemeriksaan tahap pertama Kemenkumham menyampaikan surat Nomor AHU.UM.01_82 11 Maret yang memberitahukan penyelenggara KLB untuk melengkapi kekurangan dokumen yang diserahkan..

Hasil kekurangan itu kemudian diserahkan kembali oleh Demokrat hasil KLB ke Kemenkumham. Namun dari tujuh hari waktu yang diberikan tersebut, masih ada kelengkapan yang dianggap tidak bisa dipenuhi.

"Dengan demikian pemerintah menyatakan bahwa permohonan pengesahan hasil KLB di Deli Serdang Sumatera Utara 5 Maret 2021, ditolak," ucap Yasonna.

Yasonna meminta kubu Moeldoko untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan sengketa partai berlambang mercy itu.

Respons AHY

Tak butuh waktu lama, AHY langsung merespons keputusan pemerintah yang menolak kepengurusan Demokrat KLB. AHY dari awal sudah yakin jika pemerintah menolak kepengurusan Demokrat KLB. Seringkali mantan Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kemuning itu menyebut kubu Moeldoko sebagai KLB abal-abal.

"Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala Tuhan Yang Maha Esa bahwa apa yang telah diputuskan pemerintah hari ini adalah penegasan terhadap kebenaran legalitas dan konstitusionalitas Partai Demokrat," kata AHY, Rabu.

AHY memandang dalam setelah keluarnya keputusan ini, maka semakin menegaskan bahwa Partai Demokrat yang dipimpinnya adalah yang sah. AD/ART Partai yang diakui Pemerintah juga jelas AD/ART hasil Kongres V tahun 2020 Partai Demokrat yang dilaksanakan di Jakarta.

"Penegasan terhadap legalitas terkait kepengurusan serta konstitusi partai yang yakni AD dan ART Partai Demokrat yang dihasilkan oleh kongres Partai Demokrat 2020 yang lalu yang telah berkekuatan hukum tetap dan disahkan oleh negara artinya tidak ada dualisme di tubuh Partai Demokrat," ujarnya 

AHY menegaskan, Partai Demokrat yang dipimpinnya mengapresiasi kinerja Pemerintah yang telah bekerja secara adil dan objektif dalam membuat keputusan. Hal ini tentunya adalah kabar baik bagi Demokrat dan juga proses demokrasi di Indonesia

"Kami bersyukur keputusan pemerintah ini adalah kabar baik bukan hanya untuk partai Demokrat, tetapi juga bagi kehidupan demokrasi di tanah air Alhamdulillah dalam kasus ini hukum telah ditegakkan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya," ujarnya

Kata Moeldoko

Hingga Rabu sore, kubu Moeldoko belum memberikan keterangan pasca keputusan Menkumham yang menolak kepengurusan Demokrat versi KLB.

Namun, beberapa waktu lalu melalui akun Instagramnya @dr_moeldoko menjelaskan soal jabatan ketua umum Demokrat versi KLB yang dia sandangnya.

Begini pernyataan resi Moeldoko dalam video berdurasi 2 menit tersebut:

Saya orang yang didaulat untuk memimpin Demokrat. Kekisruhan sudah terjadi, arah demokrasi sudah bergeser di dalam tubuh Demokrat.

Terjadi pertarungan ideologis yang kuat menjelang 2024. Pertarungan ini terstruktur dan gampang dikenali, ini menjadi ancaman bagi cita-cita menuju Indonesia Emas 2045.

Ada kecenderungan tarikan ideologis itu terlihat  di tubuh Demokrat, jadi ini bukan sekedar menyelamatkan Demokrat, tapi juga menyelamatkan bangsa. Itu semua berujung pada keputusan saya menerima permintaan untuk memimpin Demokrat, setelah tiga pertanyaan yang saya ajukan kepada peserta KLB.

Terhadap persoalan yang saya yakini benar dan itu atas otoritas pribadi yang saya miliki, maka saya tidak mau membebani Presiden.

Saya juga khilaf, tidak memberitahu kepada istri dan keluarga. Saya terbiasa mengambil risiko seperti ini, demi kepentingan bangsa dan negara. Untuk itu, jangan bawa-bawa Presiden untuk persolan ini.