Sidang Isbat Digelar Sore Ini, Begini Asal-Usulnya

Ilustrasi sidang Isbat di Kementerian Agama.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Anwar Sadat

VIVA - Kementerian Agama akan menggelar sidang isbat (penetapan) awal bulan Syawal 1442 H atau hari raya Idul Fitri pada Selasa, 11 Mei 2021, bertepatan 29 Ramadhan 1442 H. Meski sering didengar oleh masyarakat, namun banyak yang masih belum mengetahui asal-usul mengenai sidang isbat sendiri.

Berdasarkan KBBI Daring, Isbat memiliki arti penyungguhan, penetapan, atau penentuan. Berdasarkan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sidang isbat adalah pertemuan untuk menetapkan bulan berkaitan dengan ibadah. Namun secara lebih populer, di Indonesia siding isbat dikaitkan dengan penetapan datangnya bulan Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha hingga isbat nikah.

PMG Pelaksana Lanjutan Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah II Tangerang, M. Iqbal Tawakal dalam tulisannya yang diberi judul 'Kilas Balik Penetapan Awal Puasa Dan Hari Raya di Indonesia' yang dimuat dalam laman bmkg.go.id, menceritakan pada masa sebelum kemerdekaan penetapan awal bulan Qamariyah tidak melalui musyawarah antar ormas Islam atau yang dikenal dengan sidang itsbat.

"Karena waktu itu pemerintah yang berkuasa, Jepang tidak mengatur persoalan yang demikian itu. Awal Ramadhan dan Idul Fitri ditentukan oleh masing-masing ketua adat di lingkungan masyarakat tersebut, seperti masyarakat Aboge di Purbalingga, masyarakat Wakal di Maluku, masyarakat Gowa di Sulawesi, dan lain sebagainya (Seban, 2012). Setiap ketua memiliki perhitungan masing-masing, sehingga awal Ramadhan dan lebaran sering mengalami perbedaan meski dalam satu wilayah yang sama," tulis Iqbal yang dikutip VIVA, Selasa, 11 Mei 2021.

Baca juga: Sidang Isbat Awal Syawal 1442 Hijriah Digelar Selasa 11 Mei

Berbeda, ketika masa kerjaan-kerajaan Islam masih berdiri di Indonesia penetapan awal bulan Qamariyah ditentukan oleh keputusan raja. Masyarakat tunduk dan patuh akan keputusan sehingga menjadi seragam dan tidak ada perbedaan pemahaman.

"Pada tanggal 4 Januari 1946 pemerintah menunjuk departemen agama untuk menetapkan
hari libur nasional, termasuk libur Idul Fitri dan Idul Adha. Ketetapan ini tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh ormas Islam pada waktu itu. Maka untuk menyeragamkan pemahaman dan penentuan tanggal 1 pada bulan hijriyah dibentuklah Badan Hisab Rukyat (BHR) pada tanggal 16 agustus 1972," lanjutnya.

BHR memiliki tugas untuk melakukan pengkajian, penelitian dan pengembangan hal-hal yang berkaitan dengan hisab-rukyat dan pelaksanaan ibadah (arah kiblat, waktu shalat, awal bulan, waktu gerhana bulan dan matahari). Semenjak terbentuknya, BHR telah mengalami perkembangan dan penyempurnaan dalam menentukan kriteria awal bulan Qomariyah.

Pada masa awal kemerdekaan kriteria awal bulan mengikuti pedoman wujudu hilal. Kemudian pada masa Orde Baru menggunakan imkanu rukyat dengan kriteria tinggi hilal di atas 2 derajad, jarak hilal-matahari minimal 3 derajad dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam.

Pada tahun 1974 kriteria awal bulan tersebut diterima di tingkat regional dalam forum MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darusalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Keberadaan BHR menuai pro dan kontra di jajaran pemerintah sendiri. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, BHR diwacanakan akan dibubarkan atau dihapuskan. Selama terbentuknya BHR tidak dapat memberikan pengaruh yang kuat untuk menyatukan penentuan awal bulan di Indonesia.

Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono BHR kembali difungsikan dan berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan penyeragaman kalender hijriyah di Indonesia. Di era SBY sidang itsbat disiarkan secara langsung melalui televisi, sehingga masyarakat dapat mengetahui serangkaian acara penetapan tanggal 1 Ramadhan dan Syawal yang dilakukan oleh pemerintah.

Pemerintah yang diwakili Kementerian Agama memiliki otoritas dan wewenang dalam
menetapkan awal puasa dan hari raya dengan mengadakan sidang itsbat setiap tahunya.

Keputusan yang diambil selalu mengutamakan persatuan agar tercapai keseragaman di
masyarakat. Dalam sidang itsbat, pemerintah perlu lebih mengkomunikasikan kriteria yang ditetapkan agar dapat menyeragamkan dengan ormas Islam
yang ada di Indonesia.

Hal ini sangat mungkin dapat dilakukan, karena kriteria yang ditetapkan masing-masing ormas Islam pun mengalami perkembangan yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.