BNPT Tetapkan Lima Nama Orang di Papua Masuk Daftar Teroris

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar
Sumber :
  • Antara

VIVA – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menetapkan lima nama orang di Papua-Papua Barat masuk dalam Daftar Terduga Terorisme dan Organisasi Terorisme (DTTOT), dan ke depannya akan ditangani berdasarkan UU nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Karena itu tidak menyasar pada semua masyarakat Papua, namun kelompok yang teridentifikasi dan proses penyelidikan mereka dalam melakukan aksi kekerasan," kata Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 27 Mei 2021.

Dia menjelaskan kelima nama itu, antara lain, pertama, Lekagak Telenggen (DPO) yang merupakan komandan operasi TPN/OPM wilayah Yambi, Gome, Sinak, dan Ilaga di Kabupaten Puncak dengan kekuatan personel 50 orang.

Kedua, Egianus Kogoya (DPO) yang merupakan Pangkodap TPN/OPM Ndugama beroperasi di wilayah Kabupaten Nduga dengan kekuatan personel sebanyak 50 orang.

Ketiga, Militer Murib (DPO) yang merupakan pimpinan TPM/OPM wilayah Kabupaten Puncak dengan kekuatan personel 20 orang. 

Keempat, Germanius Elobo (Pimpinan OPM Kali Kopi) dengan kekuatan personel 30 orang.

Kelima, Sabinus Waker, pimpinan KKB Intan Jaya dengan kekuatan personel 50 orang dan kekuatan senjata sebanyak 17 pucuk senjata.

Selain itu, dia menjelaskan, BNPT memberikan masukan kepada Menkopolhukam atas penetapan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai teroris.

Dia mengatakan aksi kekerasan yang dilakukan KKB telah mengarah pada tindakan yang memberikan efek ketakutan luas, korban jiwa, dan patut diduga organisasi terlibat.

"Dalam pandangan kami, KKB adalah mereka yang menamakan TPM/OPM dan bersinergi dengan ULMWP yang dipimpin Benny Wenda. Dan kami lihat organisasi lokal dimanfaatkan," katanya.

Boy Rafli mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dipakai untuk menegakkan hukum terhadap KKB, baru kepada individu namun belum bisa menjerat organisasi.

Menurut dia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme, proses hukum bisa dilakukan komprehensif, yaitu menjangkau organisasi dan korporasi.

"Setelah ditetapkan sebagai teroris, bisa mencari penyebab kenapa uang mereka tidak habis karena bisa membeli senjata dan peluru," ujarnya.

Dia menjelaskan dalam pencegahan pendanaan terorisme dilakukan dengan penerapan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. (ant)