Eks Kompolnas Usul Dibentuk Pedoman Khusus dalam Restorative Justice

Penerapan restorative justice arahan Kapolri dilakukan di Cilegon
Sumber :
  • VIVA/Yandi Deslatama

VIVA – Sejumlah akademisi di Tanah Air mengusulkan untuk dibentuknya pedoman khusus agar penerapan restorative justice di Indonesia bisa diimplementasikan dengan benar dan tepat oleh lembaga dan aparat penegak hukum.

"Penerapan Restorative Justice di Indonesia perlu dilegitimasi dan dipedomani oleh Undang-Undang atau setidaknya dalam Peraturan Pemerintah," ucap Akademisi yang juga Komisioner Kompolnas 2016-2020, Andrea H Poeloengan dalam keterangan tertulis, Senin 2 Agustus 2021.

Dia menilai, sejumlah lembaga penegak hukum memaknai restorative justice berbeda-beda. Pertama, Polri memaknainya dengan penyelesaian di luar hukum formal dan mendamaikan. Katanya, berdasar hasil penelitian Kompolnas terkait dengan isu restorative justice pada tahun 2018 dan 2019, ditemukan kalau sesungguhnya kebijakan tentang restorative justice di lingkungan Polri lebih kental bertujuan mengatasi tunggakan perkara, untuk menghentikan baik yang masih dalam proses penyelidikan maupun sudah pada tahap penyidikan.

Sementara, itu, lanjutnya, jajaran Kejaksaan Agung menganggap kalau restorative justice adalah proses menjalankan perdamaian yang ditawarkan oleh jaksa pada perkara tertentu, yang dimulai sejak perkara telah lengkap diserahkan penyidik. Lalu, katanya Mahkamah Agung berpandangan kalau restorative justice ditujukan juga diantaranya untuk mendamaikan para pihak melalui proses mediasi penal. Selain itu, Kemenkumham beranggapan restorative justice dapat mengatasi permasalahan overkapasitas tahanan pada Lapas. 

"Dengan mengacu pada beragam pemahaman tersebut, muncul pertanyaan lebih jauh apakah Restorative Justice ini dapat diterjemahkan atau disimplifikasi sebagai upaya pragmatis duntuk mengurangi beban kerja sistem peradilan pidana dan aparat penegak hukum yang bekerja di dalamnya? Apakah juga kemudian penerapan Restorative Justice seperti itu akan otomatis relevan dalam mengurangi keadaan Over Capacity di Lapas? Kemudian, bagaimana dengan pemulihan hubungan dan merajut kembali kesalingterhubungan yang sudah robek akibat pelanggaran hukum?," katanya menjelaskan.

Sementara itu, Ketua Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ni Made Martini Puteri menambahkan, dirinya berharap pedoman khusus penerapan restorative justice dapat diwujudkan. Peraturan yang jadi pedoman penerapan ini, kata dia tidak saja terkait aspek prosedural tetapi juga meliputi tahapan teknis, administrasi, skill, pedoman perilaku, hingga dukungan anggaran dan sarpras.

"Penerapan Restorative Justice juga harus mengatur mengenai prosedur yang mempromosikan kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan persoalannya sendiri sangat diperlukan. Peran negara, melalui penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menerapkan restorative justice terbatas sebagai fasilitator dan mentor dalam upaya mewujudkan rekonsiliasi dan pemulihan korban, pelaku dan masyarakat terdampak tindak pidana," kata Martini menambahkan.

Sebelumnya diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memaparkan kinerja 100 hari dalam segi penegakan hukum. Dalam kurun waktu tersebut, Jenderal Sigit menyebut sebanyak 1.864 perkara berhasil diselesaikan melalui Restorative Justice atau keadilan restoratif.

Hal ini diungkapkan Jenderal Sigit dalam paparannya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI yang disiarkan melalui YouTube.

“Penerapan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian perkara untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan. Pada pencapaian hari ke-100, dari 52.590 perkara tindak pidana (CT) 1.864 perkara telah berhasil diselesaikan melalui Restorative Justice atau meningkat 64 persen dibandingkan 100 hari sebelumnya,” kata Sigit.

Baca juga: Kapolda Ungkap Awal Mula Polsek Nimboran Jayapura Dibakar