Lima Guru Besar Bicara Penyelesaian Polemik TWK Pegawai KPK

Pegawai KPK dalam melakukan aksi
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus menimbulkan polemik dan tanda tanya bagi sejumlah pihak. 

Bagaimanakah nantinya penyelesaian Polemik TWK ini? Lima guru besar antikorupsi memaparkan masing-masing pandangannya terkait hal itu. 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Prof Sigit Riyanto Sigit menyatakan alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah amanah UU.

Namun menurutnya, pimpinan KPK justru menyelenggarakan TWK yang tidak relevan dengan amanah undang-undang dan tugas serta fungsi para pegawai yang sudah bekerja dan menjadi bagian dan berkontribusi terhadap capaian KPK selama ini.

"Banyak pihak berpendapat bahwa TWK tersebut tidak relevan, tidak kredibel dan tidak adil. Bahkan, diduga terdapat kejanggalan dalam pelaksanaannya. Kejanggalan tujuan, desain serta pelaksanaan TWK telah dikonfirmasi oleh Lembaga negara yakni Komnas HAM dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI)," kata Sigit, Kamis, 16 September 2021.

Dia memaparkan temuan kedua lembaga negara tersebut telah mengonfirmasi bahwa TWK dilakukan tanpa standar yang jelas, obyektif dan transparan.

Oleh karenanya Sigit menyebut patut diduga bahwa TWK tersebut, sejak awal memang dimaksudkan sebagai dalih untuk menyingkirkan para pegawai yang sudah mengabdi dan berkontribusi dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. 

"Hal ini jelas telah mengkhianati upaya pemberantasan korupsi dan kepercayaan publik. Presiden Jokowi punya kesempatan untuk menunjukkan komitmennya pada aspirasi publik dan menentukan sikap yang jelas bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya. 

Sementara, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Azyumardi Azra Azyumardi mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih baik mengikuti rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM dengan melantik 75 pegawai KPK menjadi ASN. Dengan demikian, Jokowi akan sedikit banyak meninggalkan 'positive legacy' dalam pemberantasan korupsi. 

"Kegaduhan politik agaknya dapat berlanjut dalam masyarakat jika Presiden Jokowi mengabaikan rekomendasi kedua lembaga resmi negara itu," kata Azyumardi. 

Lalu, Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed Prof Hibnu Nugroho Hibnu menilai Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan harus mampu mengambil kebijakan tepat dalam menangani masalah pegawai KPK. Diharapkan kebijakan yang diambil jangan sampai merugikan alih status yang dijanjikan.

"Harus diingat bahwa para pegawai KPK ini merupakan pegawai yang memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi yang sangat luar biasa," ucap Hibnu.

"Kondisi seperti sekarang harus secepatnya diakhiri untuk mencegah munculnya kegaduhan diantara institusi negara, karena hal-hal tersebut akan sangat memengaruhi trust politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," imbuhnya.

Kemudian, Guru Besar Fakultas Hukum UNPAR Prof Atip Latipulhayat Atip menyampaikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya menyangkut uji norma undang-undang KPK. Pun demikian dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang hanya menyangkut uji formal dan material dari Perkom KPK. 

"Putusan tersebut tidak menyentuh atau terkait dengan maladministrasi sebagaimana rekomendasi dari Ombudsman RI dan juga tidak terkait dengan pelanggaran HAM sebagaimana hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM," kata Atip. 

Dengan demikian, lanjutnya, maladministrasi dan pelanggaran HAM terbukti terjadi dalam implementasi TWK. Antara lain berupa pertanyaan-pertanyaan yang melanggar ranah privasi seseorang. 

"Oleh karena itu baik rekomendasi Ombudsman maupun rekomendasi Komnas harus segera ditindaklanjuti oleh oleh Presiden selaku penanggung jawab tertinggi administrasi pemerintahan agar tercipta ketertiban dan kepastian hukum," tambahnya. 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bosowa Prof Marwan Mas Marwan menyebut eksistensi KPK kini berada di ujung tanduk setelah dua puncak peradilan Indonesia dalam sistem peradilan bifurkasi yaitu MK dan MA tidak berpihak putusannya terhadap penguatan kewenangan KPK. 

"Betapa tidak, Putusan MK pada 3 Mei 2021 terhadap uji formil dan uji materi UU KPK ditolak oleh delapan Hakim Konstitusi. Hanya satu Hakim Konstitusi yang mengabulkan Uji Formil, begitupun Uji Materi hanya sebagian kecil (putusan minimalis) yang dikabulkan, sedangkan keberadaan Dewas KPK tetap eksis dipertahankan oleh MK," kata Marwan. 

Begitu pula, Putusan MA pada awal September 2021, ternyata juga menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh Pegawai KPK terhadap Perkom 1/2021 yang mengatur pelaksanaan TWK. 

Akibatnya, kata Marwan, 51 Pegawai KPK termasuk 24 lainnya yang tidak lulus TWK akan diberhentikan dengan hormat pada akhir bulan November 2021.

Marwan pun menekankan perlunya pergantian rezim yang berkuasa pada 2024 mendatang saat pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan pemilihan anggota legislatif demi menyelamatkan KPK.

Sebab untuk saat ini, menurutnya tak ada harapan berharap kepada Presiden Jokowi untuk mendorongnya mengikuti rekomendasi Ombudsman dan rekomendasi Komnas HAM, termasuk mengangkat 51 dan 24 lainnya Pegawai KPK itu menjadi ASN di KPK.

"Sekali lagi saya tekankan harus mengganti Presiden/Wakil Presiden dan tidak memilih atau memenangkan partai politik yang berkoalisi dengan Presiden Jokowi," kata Marwan. 

"Apabila hal itu berhasil, saya percaya eksistensi KPK seperti saat dibentuk mulai dari KPK Jilid-1 sampai KPK Jilid-4 akan berkumandang kembali dalam pemberantasan korupsi secara berintegritas, profesional, dan berani melaksanakan tugas dan kewajibannya," katanya.

Baca juga: Ombudsman RI Kirim Rekomendasi TWK KPK ke Jokowi dan DPR