Kompolnas: Polri Harus Teladani Jokowi Tak Antikritik

Presiden Jokowi mengunjungi Aceh, Kamis, 16 September 2021.
Sumber :
  • VIVA/ Dani Randi.

VIVA – Presiden Joko Widodomenegaskan tidak antikritik. Makanya, ia sempat menegur Kapolri atas tindakan jajaran Polri yang terlalu reaktif terhadap masyarakat yang melakukan aksi membentangkan poster saat kunjungan kerjanya ke sejumlah daerah, beberapa waktu lalu.

Terhadap hal itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Telegram Nomor STR: 862/IX/PAM.3/2021, tanggal 15 September 2021. Salah satu isinya yaitu memerintahkan para Kasatwil di seluruh jajaran polda agar memperhatikan pedoman bahwa setiap pengamanan kunjungan kerja dilakukan secara humanis dan tidak terlalu reaktif.

Kedua, apabila didapati sekelompok masyarakat yang berkerumun menyampaikan aspirasinya sepanjang dibenarkan undang-undang, maka tugas pengamanan hanya mengawal rombongan tersebut agar berjalan tertib dan lancar. Lalu, menyiapkan ruang bagi masyarakat yang menyampaikan aspirasinya dapat dikelola dengan baik.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti menyambut baik dikeluarkannya Surat Telegram Nomor: STR/862/IX/PAM.3./2021 tertanggal 15 September 2021 sebagai pedoman dan panduan bagi anggota di lapangan dalam melaksanakan tugas pengamanan kunjungan kerja Presiden Republik Indonesia ke daerah.

Disatu sisi, kata dia, polisi dapat melaksanakan tugas pengamanan Presiden dengan baik. Disisi lain, menunjukkan wajah polisi humanis, melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat, serta menghormati kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat.

“Dengan adanya arahan Presiden Jokowi pada Kapolri dan diterbitkannya STR, menunjukkan bahwa Presiden Jokowi adalah presiden yang demokratis, mau mendengar, tidak antikritik. Sehingga hal tersebut harus diteladani semua bawahan beliau, termasuk Kapolri dan jajaran,” kata Poengky saat dihubungi VIVA pada Jumat, 17 September 2021.

Menurut dia, langkah Kapolri mengeluarkan STR sangat tepat sebagai pedoman bagi jajarannya. Harapannya, polisi memahami mana tindakan yang membahayakan Presiden/VVIP, dan mana tindakan yang merupakan wujud kebebasan berekspresi serta mengemukakan pendapat.

“Sebelum kunjungan Presiden dilakukan, polisi di lapangan seharusnya dapat menganalisa potensi-potensi yang akan terjadi. Sehingga, dapat melakukan upaya-upaya preventif preemtif dan tidak represif saat Presiden berkunjung,” ujarnya.

Ia menambahkan Indonesia adalah negara demokrasi, dimana pendapat dihargai dan dihormati. Jangan sampai, tindakan polisi yang berlebihan justru malah merusak citra Presiden Jokowi dan merusak citra Indonesia sebagai negara demokrasi. Tindakan main tangkap dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan, kecuali orang yang ditangkap membahayakan jiwa Presiden dan masyarakat di sekelilingnya.

“Alasan melakukan pembinaan dengan cara menangkap seseorang, tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut melanggar KUHAP dan merupakan bentuk represif aparat kepolisian,” tandasnya.

Diketahui, ada beberapa kejadian saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah. Pertama, saat Presiden Jokowi kunjungan peresmian Waduk Sekampung di Kota Bandar Lampung pada 2 September 2021. Saat itu, ada simpatisan mantan Ormas FPI atau Alumni 212 yang memasang spanduk atau poster.

Kedua, saat kunjungan ke Kota Blitar, Jawa Timur ada seseorang tiba-tiba berdiri membentangkan poster persis ke arah Presiden Jokowi pada 7 September 2021, yang merupakan peternak ayam. Ketiga, saat Presiden Jokowi kunjungan ke UNS dan ada sepuluh mahasiswa yang membawa spanduk atau poster pada 13 September 2021.