Perubahan Iklim Berdampak Pada Petani Muda, Terutama Gagal Panen

Marlan Ifantri LaseĀ  (27), seorang petani di Nias, menyebut perubahan iklim telah menyebabkan kemarau berkepanjangan sehingga merugikan hasil panennya. (Supplied: Marlan Ifantri Lase)
Sumber :
  • abc

Marlan Ifantri Lase mulai bertani sejak usia tujuh tahun di Pulau Nias dan tahu persis kapan masa tanam, masa panen, dan bagaimana seharusnya merawat dan mengelola tanaman.

Namun, dalam enam tahun terakhir dia mulai mengalami kesulitan.

"Semuanya tidak sama lagi karena perubahan iklim" katanya kepada program Hack dari ABC.

"Kadang musim hujan datang lebih awal atau terlambat dari masa tanam, atau berlangsung lebih lama daripada biasanya, begitu pula musim kering," tambah petani berusia 27 tahun ini.

Sebuah riset yang dilakukan oleh BMKG di tahun 2015 mengenai dampak perubahan iklim terhadap suhu udara selama 10 tahun, menunjukkan adanya peningkatan rata-rata suhu minimum di Pulau Nias.

Kekhawatiran terbesar Marlan adalah ketidakpastian akibat perubahan iklim, yang tak hanya berdampak pada hasil pertanian tapi juga "semangat untuk bertani" di kalangan generasi muda, yang bisa mengalami kerugian puluhan juta rupiah saat memulai bertani. 

"Makanya banyak anak muda yang ketika harapan hidup sebagai petani semakin sempit, semakin kecil, memilih pindah ke kota. Mereka pindah mencari pekerjaan sebagai buruh di sana, meninggalkan pedesaan," ujar Marlan.

"Akhirnya mau tidak mau petani seperti terjebak pada situasi-situasi seperti itu. Ini menjadi masalah yang kita alami di Indonesia, terutama petani muda," tambahnya.

Gagal panen besar-besaran

Isu perubahan iklim sedang banyak dibahas dalam konferensi PBB 2021 di Glasgow, dan begitu pula di Indonesia.

Tetapi dampak dari perubahan iklim ini dirasakan langsung oleh para pelaku sektor pertanian yang menjadi sumber pasokan makanan sekaligus penyerap tenaga kerja terbesar.

Menurut Dr Rini Astuti dari Australian National University, cuaca ekstrem diperkirakan bakal menurunkan hasil produksi pertanian Indonesia.

"Saya kira dampak terbesar dari perubahan iklim adalah meningkatnya ketidakteraturan dan intensitas curah hujan, karena produksi pertanian sangat bergantung pada curah hujan," ujar peneliti bidang mitigasi perubahan iklim di Asia Tenggara ini.

"Ketidakteraturan curah hujan kemudian memengaruhi kemampuan petani dalam merencanakan usaha agrikultur, sehingga akan berdampak pada produksi pangan di Indonesia. Dan efeknya bukan hanya dirasakan oleh petani tapi juga perekonomian negara secara keseluruhan," jelasnya.

Dr Rini mencontohkan peristiwa El Nino pada tahun 2015 dan 2019 yang menyebabkan kegagalan panen skala besar di wilayah penghasil beras utama Indonesia" akibat lambatnya musim hujan sebagai contoh dari peristiwa cuaca ekstrem.

Sebuah Riset oleh lembaga penelitian di Jakarta yang membandingkan dua hasil panen dari dua wilayah produksi padi di Jawa, telah memperkirakan terjadinya perubahan suhu dan curah hujan akibat perubahan iklim pada 2010, 2030, dan 2050.

Petani seperti Tri Ema Marini (33) yang mulai menggarap sawah di tahun 2013 mengaku mengalami masa-masa sulit dua tahun belakangan.

Hasil panennya telah lima kali gagal akibat kemarau panjang yang dikaitkan dengan perubahan iklim dan sulitnya sumber air. Ia rugi sekitar Rp700 juta.

"Kami sangat khawatir karena banyak yang gagal panen. Biasanya di Rembang (Jateng), panen bawang merah besar-besar sekali. Kemarin tidak maksimal, kecil-kecil. Jadi bagi petani otomatis itu termasuk gagal panen. Harganya pun turun," tutur Ema.

Ketua kelompok petani muda yang beranggotakan sekitar 500 orang di Jateng ini menyebut perubahan iklim telah mengakibatkan kelangkaan air sehingga koperasi tani mereka harus merogoh kocek untuk mengatasinya.

"Kita bergantung pada air. Kalau tak ada air, otomatis tak bisa menanam, dan kami harus keluar banyak uang untuk menyirami satu hektar lahan," katanya.

"Kemarin saya coba. Kita juga punya koperasi. Kita coba satu pengeboran sumur (biayanya) bisa sampai 70 jutaan. Sangat mahal sekali," tambahnya.

Ema mengatakan perubahan iklim semakin menambah beban para petani muda, yang juga sedang menghadapi isu lain seperti kelangkaan pupuk atau bibit tanaman yang terlalu mahal.

Dr Venticia Hukom dari lembaga riset Inobu menjelaskan, masalah seperti ini telah membuat generasi muda cenderung pindah ke kota, sehingga menyebabkan tingginya angka pengangguran.

Tapi mungkin justru bukan generasi muda yang harus disalahkan.

"Bayangkan saja bila Anda memulai pekerjaan pertama kemudian lahan pertaniannya tidak lagi subur seperti 10 tahun lalu. Atau mungkin Anda ingin jadi nelayan, tapi ikan tidak lagi sebanyak beberapa dekade sebelumnya," kata Dr Venticia.

"Tentu saja, [menurut Anda] bagaimana mungkin mereka mau tetap jadi petani bila alam melawan mereka?"

Menurut Dr Venticia perubahan iklim adalah isu yang perlu segera ditangani, mengingat hampir 70 persen petani Indonesia sekarang semakin menua.

"Bagaimana para petani muda menghadapi perubahan iklim akan menentukan bagaimana pangan akan diproduksi dalam waktu yang dekat ini," jelasnya.

Sisi baiknya, menurut dia, masa depan pertanian yang pasti berhadapan dengan perubahan iklim tidak akan bisa menghentikan petani muda yang akan menjadikan hal ini sebagai kesempatan untuk mereka berinovasi.

"Petani muda memiliki sesuatu yang mungkin tak disadari oleh orang tuanya. Mereka lebih terbuka terhadap teknologi baru, misalnya smart farming," ujarnya.

"Kebutuhan adalah induk dari inovasi. Jadi, perubahan iklim memungkinkan para petani muda untuk menjadi lebih tangguh dalam berinovasi," jelas Dr Venticia.

Untuk membantu petani, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah membangun Sekolah Lapang Iklim, yang mendidik petani aspek-aspek perubahan iklim untuk mengantisipasi kejadian ekstrem. Tetapi, sekolah ini masih hanya dikhususkan untuk petani padi.

Petani seperti Marlan di Nias menyadari pemerintah telah berupaya menangani dampak perubahan iklim tapi mempertanyakan kebijakan yang justru meningkatkan risikonya.

Misalnya program food estate di mana pemerintah berencana membuka persawahan skala besar untuk mengamankan pasokan pangan.

"Tapi apakah itu menyelesaikan perubahan iklim? Tidak. Malah membuat potensi perubahan iklim semakin tinggi," kata Marlan.

"(Saya harap) pemerintah tidak mendorong lagi kebijakan industrial berlebihan, karena bagaimana pun salah satu penyebab polusi udara adalah ekonomi berbasis industri," katanya.

Dia mengatakan pemerintah dapat membantu petani muda dengan memberi mereka pendidikan dan mendorong agroekologi, yaitu pertanian berkelanjutan, dan mendukung pertanian keluarga.

ABC telah menghubungi pihak Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia untuk memberikan komentar.

Dalam konteks lingkungan hidup, Pemerintah Australia memiliki beberapa program bantuan untuk negara-negara Asia Tenggara dalam memenuhi target emisi karbonnya, termasuk Indonesia.

Australia ingin membantu Indonesia mencapai komitmennya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 41 persen dengan dukungan dunia internasional, terutama setelah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi enam tahun lalu, yang menyebabkan kerugian ekonomi serta menyumbang lebih dari 1 miliar ton karbon dioksida.

Khusus untuk sektor pertanian, Dr Rini Astuti mengatakan Australia telah mendukung dengan memberikan pengetahuan yang relevan dan praktis tentang pertanian berkelanjutan di Indonesia.

Menurut dia, pemerintah Australia dapat membantu Indonesia dengan melanjutkan proyek-proyek di lapangan misalnya melalui universitas.

"Kolaborasi timbal balik seperti ini sangat penting untuk menciptakan kawasan Asia Pasifik yang akan bertahan dan berkembang tanpa emisi karbon, serta pembangunan ekonomi hijau," ujarnya.

Menurut dia, Australia dapat mendukung Indonesia secara ekonomi.

"Saya kira sekarang mereka berusaha mengejar pemulihan ekonomi dulu, bukan lingkungan," katanya.

"Pemerintah Indonesia membutuhkan dukungan finansial dan politik untuk menempatkan isu lingkungan sama pentingnya dengan pemulihan ekonomi setelah pandemi COVID," tambahnya.

Simak artikelnya dalam Bahasa Inggris di sini.