Seumur Hidup Tinggal di Semeru, Nyaminten Tak Menyangka Akan Mengungsi

Nyaminten berharap Presiden Jokowi memperhatikan korban dan menyediakan hunian baru bagi mereka. (Foto: Farid Rahman)
Sumber :
  • abc

Sudah sembilan hari Nyaminten tinggal di tempat penampungan warga di Kantor Desa Penanggal.

Nyaminten adalah warga Curah Kobokan, Pronojiwo, daerah yang paling terdampak erupsi gunung Semeru di Jawa Timur pekan lalu.

Saat erupsi terjadi, perempuan berusia 65 tahun ini, suaminya, dan salah seorang cucunya sedang berada di rumah.

"Tiba-tiba awan gelap, kami lari ke rumah tetangga dan untungnya kami selamat, tapi rumah hancur total, rata dengan tanah."

Endang Pujiastuti, yang sehari-hari bekerja sebagai penambang pasir, saat ini juga sedang tinggal di tempat pengungsian yang sama dengan Nyaminten.

Ia lahir dan tinggal di Kamar Kajang, yang masuk zona merah erupsi Semeru.

Letaknya dekat dengan daerah aliran sungai Semeru dan Jembatan Gladak Perak yang putus setelah erupsi.

"Awalnya saya kira hanya banjir biasa, tapi kemudian hujan kerikil, kemudian abu, tapi terus langit jadi gelap banget," ujarnya menceritakan saat letusan gunung terjadi.

"Saya, suami, dan anak saya yang berusia sebelas tahun kemudian keluar rumah, membawa senter, karena gelap."

Tinggal di kaki gunung yang masih aktif seringkali membuat Endang was-was. Tapi ia tak pernah terlintas di pikirannya untuk pindah rumah, karena keluarga dan orangtuanya tinggal di kampung yang sama.

"Saya berat mau meninggalkan rumah itu, karena kami susah payah membangunnya. Saya juga sudah sejak kecil tinggal di situ, tempatnya enak dan sejuk."

"Tidak pernah [sebelumnya] saya terpikir untuk pindah ke tempat, yang katakanlah lebih aman, karena keluarga semua tinggal di sini."

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Senin siang (13/12), sebanyak 9.374 warga saat ini mengungsi di 129 tempat penampungan, kebanyakan adalah perempuan. Sementara korban meninggal menjadi 46 orang.

Sebelumnya, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan penambahan jumlah itu terjadi setelah awan panas guguran Gunung Semeru masih terjadi di hari keempat.

Selain di kantor desa Penanggal, tempat pengungsian yang lain adalah gedung SMP Candipuro.

Ahmad Saliman adalah salah satu dari sekitar 250 orang pengungsi di sana.

Rumahnya di Kampung Renteng, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, adalah salah satu kampung yang paling parah terdampak letusan gunung Semeru.

Saat letusan terjadi, Saliman baru pulang dari pekerjaannya sehari-hari, sebagai penambang pasir.

"Sebenarnya mata ini susah untuk melihat karena hujannya hujan lumpur, mana anak saya juga nangis terus sambil [menyebut] Allah... Allah...," ujarnya.

"Saya pikir kalau itu kejadiannya malam hari, pasti kami semua tidak selamat karena tidak ada bunyi apa pun sama sekali sebelumnya."

Setelah letusan mereda, ia sempat mengecek kondisi rumahnya yang terendam material lahar, pasir, dan batu sekitar empat meter dalamnya.

Ia mengaku trauma dan tidak ingin kembali lagi setelah melihat sendiri situasi rumahnya.

"Saya juga bingung setiap anak saya merengek minta pulang. Mau pulang ke mana? Rumah kami sudah habis begitu."

"Semua harta benda kami di dalam rumah juga sudah habis."

Saliman berharap Pemerintah Indonesia memperhatikan kondisi warga yang tinggal di tempat yang berisiko bencana, seperti dirinya. Ia juga mengaku siap direlokasi.

Di tempat pengungsian yang sama, Kasan yang berprofesi sebagai peternak menceritakan detik-detik gunung Semeru meletus.

“Saya mau lari pulang ke kampung enggak bisa, karena gelap. Jalanan tidak kelihatan."

Pikirannya saat itu melayang ke anak dan istrinya di rumah, berharap mereka semua selamat.

"Semua selamat, termasuk 11 ekor kambing yang diselamatkan kerabat saya, tetapi rumah kami tidak bisa ditempati lagi karena atapnya ambruk."

Meski berat meninggalkan rumah dan desa yang baginya penuh kenangan, kini ia berpikir untuk pindah rumah.

"Saya perlu tempat berlindung, tempat yang aman. Inginnya kembali, tetapi mau bagaimana lagi, kondisinya tidak memungkinkan."

Berbeda dengan Saliman dan Kasan, rumah Sarjumat sebenarnya tidak langsung terdampak saat pertama kali terjadi letusan.

Tapi tiga hari setelah letusan, air sungai dan lahar dingin bercampur pasir, batu, dan lumpur, menerjang dan merusak rumah Sarjumat, sehingga ia harus mengungsi ke tempat tinggal saudaranya.

Sarjumat mengatakan ia kehilangan setidaknya delapan orang anggota keluarganya yang tinggal di Kampung Renteng.

"[Saya kehilangan] lima orang saudara saya, satu orang cucu, dan dua orang keponakan. Berapa itu? Coba bayangkan."

Minggu lalu proses pencarian sempat tertunda karena hujan deras yang mengakibatkan banjir lahar dingin, serta awas panas.

Meski menempati tempat-tempat pengungsian, di pagi atau siang hari sebagian besar warga memilih mendatangi rumah mereka untuk melihat kondisinya dan mengambil barang-barang yang mereka anggap berharga. 

BNPB mengimbau agar masyarakat tidak beraktivitas dalam radius 1 kilometer dari kawah atau puncak Gunung Semeru dan jarak 5 kilometer arah bukaan kawah di sektor tenggara - selatan.

Selain itu, BNPB juga mengingatkan agar tetap waspada dengan ancaman lahar di alur sungai Gunung Semeru.

Laporannya dalam bahasa Inggris bisa dibaca di sini