Apakah Masalah Jakarta akan Teratasi Usai Ibu Kota Pindah

Sejumlah kawasan di Jakarta sudah tenggelam lebih dari empat meter sejak tahun 1970-an. (Reuters: Beawiharta)
Sumber :
  • abc

Pekan lalu, DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara menjadi undang-undang, menandai resminya ibu kota baru Indonesia, yang sudah dibicarakan sejak tahun yang lalu.

Berdasarkan Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara, alasan pemindahan ibu kota diantaranya ancaman Jakarta yang tenggelam, banjir, gempa bumi, serta penurunan tanah.

Hanya butuh 42 hari untuk Rancangan Undang-Undang untuk dibahas dan disahkan, menjadikannya sebagai RUU tercepat yang disahkan di parlemen.

Hampir tidak ada oposisi terhadap proses pengesahannya, satu-satunya partai yang konsisten menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera, dengan alasan pemindahan ibu kota baru sangat membebani keuangan negara yang saat ini sedang berfokus memulihkan perekonomian.

Kapan ibu kota Indonesia mulai pindah?

Pemerintah dan DPR menyepakati ibu kota baru bernama Nusantara di Kalimantan Timur, yang akan dipimpin seorang kepala badan otorita yang ditunjuk langsung oleh presiden.

Berdasarkan Undang-Undang Ibu Kota Negara, pemindahan status Ibu Kota Negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur dilakukan pada Semester pertama tahun 2024, bersamaan dengan berakhirnya masa kepresidenan Joko Widodo.

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut proyek ibu kota baru terlalu dipaksakan untuk alasan politis.

"Ambisi politik dalam proyek ini dominan dibanding rasionalitas ekonomi," ujarnya.

Bhima mengatakan proyek dengan anggaran Rp466,9 triliun ini berisiko memberatkan keuangan negara.

"Terkesan hanya untuk legacy Pemerintah."

Apa yang akan terjadi pada Jakarta?

Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengatakan, "Jakarta akan terus menjadi pusat perekonomian", selain pusat dari sektor lainnya, seperti sektor kebudayaan, serta "tetap menjadi simpul dari bangsa Indonesia."

Muhamad Eka Yudhistira adalah warga Jakarta yang juga berdarah betawi.

Eka berharap beban Jakarta bisa berkurang setelah tidak lagi menyandang gelar ibu kota.

"Meski mungkin enggak banyak berkurang karena Jakarta akan tetap jadi pusat ekonomi, tapi seenggaknya masalah kemacetan dan polusi bisa sedikit berkurang," kata Eka.

Eka mengaku ia butuh waktu minimal satu jam untuk berkendara dari rumahnya ke kantornya di Jakarta, padahal hanya berjarak 9,5 kilometer.

Ia berharap pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur tidak akan berdampak buruk untuk penduduk asli.

"Pasti [pembangunan ibu kota baru] ada dampaknya. Apakah nanti efeknya akan seperti orang-orang betawi di Jakarta yang tersingkirkan? Kita enggak tahu."

"Pemerintah harus benar-benar memaksimalkan penduduk lokal di sana. Kan pembangunan katanya harus merata."

Pengamat dari Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, mengatakan, ia tidak khawatir akan nasib Jakarta saat sudah tidak lagi berstatus ibu kota negara.

"Sebagai logistic hub, dengan populasi terbanyak yang masih di Jawa, pusatnya masih akan tetap di Jakarta. Saya enggak terlalu khawatir."

"Soal land subsidence [penurunan tanah],sebenarnya sudah mulai slow down sejak 2010. Pembatalan reklamasi teluk Jakarta, misalnya, sebenarnya berdampak bagus karena berarti pembangunan enggak di-push lagi ke utara yang udah sinking," jelasnya.

"Tapi tenggelam atau tidaknya Jakarta tidak relevan dengan pindah atau tidaknya ibu kota, karena ini tergantung regulasi, seberapa ketat melarang orang untuk ekstraksi tanah dalam."

Ia mengatakan, dalam kasus-kasus tertentu, pemindahan ibu kota akan berdampak baik untuk Jakarta karena mengurangi eksploitasi yang didorong pembangunan ekstraktif.

"Proyek yang problematik, seperti pembangunan jalan tol double decker di Jakarta juga bisa ditimbang ulang keberlanjutannya karena pengaruh Pemerintah pusat berkurang di sana."

Ia menambahkan dengan tidak lagi berstatus sebagai ibu kota negara, Jakarta sebagai provinsi berpeluang lebih leluasa mengatur tata ruangnya sendiri, yang selama ini kerap berseberangan dengan kepentingan Pemerintah pusat.

"Pemerintah pusat memiliki kecenderungan mengabaikan aturan tata ruang … banyak tata ruang Jakarta yang dilanggar oleh pemerintah pusat, misalnya kawasan Senayan di Jakarta Pusat, yang adalah zona hijau tapi bisa di-lego jadi mall."

Tata ruang menurutnya adalah "wasit" di antara kepentingan politik, kepentingan ekonomi, dan kepentingan masyarakat luas.

"Selama ini kepentingan ekonomi yang selalu menang di Jakarta. Kalau tata ruangnya dan pemerintahnya enggak bisa menjadi wasit, Jakarta akan begitu terus, mau ibu kota pindah atau enggak."

Jadi menurutnya masa depan Jakarta akan sangat tergantung dari visi pemimpin Jakarta itu sendiri.

Bagaimana nasib aset negara di Jakarta?

Dengan status sebagai pusat bisnis, gedung-gedung milik Pemerintah pusat di Jakarta diperkirakan tidak akan kosong atau terbengkalai, meski akan ditinggalkan para pegawainya juga

Seperti yang dikatakan Kementerian Keuangan, aset negara yang ada di Jakarta, yang terdiri dari Gedung-gedung Kementerian atau Lembaga hingga Istana Negara, rencananya akan disewakan untuk membiayai mega proyek ibu kota.

"Aset yang di Jakarta itu kami optimalkan supaya bisa mendapatkan dana untuk pembangunan di Ibu kota baru," ujar Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Encep Sudarwan.

"Tidak selalu dijual, bisa juga kita kerja sama-kan dengan diberi waktu 30 tahun atau beberapa tahun, nanti uangnya digunakan di sana," tambahnya.

Ia menyebutkan, aset negara di Jakarta ada sekitar Rp 1.100 triliun.

Apakah semua orang menyambut baik rencana ini?

Yati Dahlia adalah warga yang sudah tinggal di Sepaku, Kalimantan Timur, sejak ia dilahirkan 31 tahun lalu.

Ia mengatakan warga Sepaku "tidak pernah dikonsultasikan" tentang rencana pembangunan yang akan terjadi hanya beberapa kilometer dari rumah mereka.

"Ini bukan hutan. Banyak penduduk asli yang tinggal di sini," katanya.

“Apakah mereka pikir kami hanya pohon di sini? Kami adalah manusia dan kami ingin dimanusiakan. [Pemerintah] harus membantu kami terlebih dahulu daripada memaksakan kehendak mereka.

"Mereka tidak pernah mendengarkan kita di sini."

Pradarma Rumpang, aktivis lingkungan dan koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) di Kalimantan Timur mengatakan rencana relokasi akan semakin memperburuk kerusakan lingkungan yang ada di masyarakat, seperti kurangnya akses terhadap air.

“Bahkan dalam keadaan normal, krisis air bersih menjadi masalah bagi daerah-daerah tersebut,” ujarnya.

"Ini adalah masalah utama yang selalu ada. Apa yang akan terjadi ketika ada ledakan penduduk dalam waktu singkat?"

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia memproyeksikan populasi wilayah ibu kota baru akan tumbuh dari 100.000 menjadi 700.000 di tahun 2025, kemudian 1,5 juta pada tahun 2035.

Pradarma juga mempertanyakan pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, yang mengatakan ibu kota baru akan menciptakan lebih dari 1,3 juta pekerjaan.

Ia mengatakan ribuan rumah tangga "akan tercabut dari akar ekonominya" sebagai penggarap, pemburu, petani, karena pembangunan ibu kota baru.

Mata pencaharian lebih dari 10.000 nelayan lokal di sekitar kota terdekat Balikpapan juga berpotensi terkena dampaknya, katanya.

Ia juga khawatir dengan lalu lintas kapal, yang membawa jutaan ton bahan bangunan untuk proyek ibu kota akan mendominasi sungai-sungai setempat.

Yati, yang keluarganya bekerja sebagai petani, khawatir pembangunan Nusantara akan memaksanya untuk merelakan tanah untuk kedua kalinya, setelah pernah diambil oleh makelar tanah tanpa sepengetahuannya.

"Jika mereka memaksa kami untuk menyerahkan tanah kami, apa yang akan kami tinggalkan?"

"Apa yang harus kita lakukan agar anak-anak kita bisa bertahan hidup?"

Baca laporannya dalam Bahasa Inggris