Debat Etika-Filsafat Prof Yusril Vs Romo Magnis di Sidang MK
- Tangkapan layar MK
Jakarta – Tim hukum dari pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor 02 Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan konsep etik yang dipaparkan Ahli Filsafat dan Etika yang dihadirkan dari paslon 03, Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).), Selasa, 2 April 2024.
Sebelumnya, Romo Magnis menyebut putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan putusan yang pada akhirnya meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres sebagai pelanggaran etika berat.
Menurutnya, penetapan seseorang sebagai cawapres yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat, maka hal tersebut merupakan pelanggaran etika berat.
Yusril menilai Romo Magnis gagal paham dengan pelanggaran etik sebagaimana keputusan MKMK, dengan konsep etik dalam ilmu filsafat seperti yang dijelaskan filsuf Immanuel Kant dan Thomas Aquinas bahwa norma etik lebih tinggi dari norma hukum.
Yusril kemudian bertanya ke Romo Manis mengenai teori hierarki perundang-undangan, dikenal ada norma yang lebih tinggi yang bersifat mendasar, normal, rendah hingga mengatur peraturan bersifat teknis.
"Saya agak khawatir Romo confuse antara etik filsafat dan etik yang dibicarakan dalam forum ini yaitu terkait etik kode etik yang jadi kewenangan MKMK, KPK, DKPP untuk melakukan pemeriksaan proses peradilan etik," kata Yusril.
Mantan Menteri Sekretaris Negara itu juga mengajukan pertanyaan apakah pelanggaran etik dalam filsafat dapat berimplikasi terhadap kebijakan negara hingga mampu mengubah keputusan yang dibuat berdasarkan norma Undang-undang.
"Persoalannya, apakah pelanggaran etik filsafat, membuat implikasi pada penyelenggaraan negara harus begini-begini seperti yang Romo katakan, atau kah pelanggaran kode etik sebagai code conduc dalam di dalam norma etik yang dijadikan dasar keputusan DKPP dan MKMK apakah itu akan menggeser keputusan yang didasarkan atas norma UU, mohon Romo jelaskan," ujar Yusril
Jawaban Romo Magnis
Merespons hal itu, Romo Magnis menyatakan pengabaian terhadap putusan pelanggaran etika berat yang diputuskan MKMK tentu memberi kesan bahwa asal berkuasa maka etika dan hukum tidak perlu diperhatikan.
Kondisi ini, lanjutnya, pada akhirnya akan memperlemah struktur negara Indonesia sebagai negara hukum. Pengabaian terhadap suatu keputusan bahwa terbukti ada pelanggaran etika berat, maka dari sudut padang etika merupakan bentuk pelanggaran etika berat.
"Kalau masyarakat mengalami bahwa (pelanggaran) etika secara berat bisa dilanggar demi suatu tujuan politik, dengan sendirinya paham penguasa melakukan itu akan turun, akan ditaati karena dia berkuasa, tidak karena keyakinan lagi (pada aturan UU)," ujarnya
Romo Magnis kemudian menyinggung pendapat filsuf Immanuel Kant tentang konsep suatu negara yang ditata sesuai aturan perundang-undangan yang adil dan bijaksana, maka dengan sendirinya warga negara akan taat dan patu pada aturan hukum.
"Akibatnya kalau menuruti Immanuel Kant, Kant justru menunjukkan kalau suatu negara ditata menurut Undang-undang yang adil dan bijaksana, tidak perlu usaha etika tinggi, orang dengan sendirnya akan taat, karena paling masuk akal hidup sesuai Undang-undang," ujarnya
Sebaliknya, tambah Romo Magnis, kalau suatu negara mengabaikan aturan UU, maka akan muncul fenomena pengingkaran warga negara terhadap suatu aturan hukum.
"Orang secara etis tidak akan merasa melakukan apa-apa kalau tidak taat pada negaranya, supaya tidak kena, seperti di lalu lintas kita dengan motor melawan arus, itu pertimbangan etis atau tidak?" ungkapnya