2 Hal Kenapa Revisi UU KPK Harus Ditolak

Gedung KPK.
Sumber :
  • ANTARA/Fanny Octavianus

VIVAnews - Koalisi Penegak Citra Parlemen mendesak Dewan Perwakilan Rakyat membatalkan revisi terhadap UU Komisi Pemberatasan Korupsi. Koalisi juga meminta agar DPR mengeluarkan undang-undang itu dari daftar Prolegnas.

"Apa yang kita amati dalam beberapa tahun terakhir, DPR merupakan salah satu aktor 'pelumpuh' terhadap upaya pemberantasan korupsi," ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald, dalam konferensi pers DPR Lumpuhkan KPK di Jakarta, Minggu, 30 September 2012.

Menurut Ronald, upaya pelemahan KPK terlihat nyata dalam dua hal. Pertama, upaya politisasi anggaran untuk menghambat pembangunan gedung KPK.

"Anggaran pembangunan gedung KPK sebetulnya telah disetujui oleh DPR dan pemerintah melalui APBN 2012 dengan nilai Rp72,8 miliar atau sekitar 4,7 persen dari seluruh usulan gedung baru untuk lembaga yudikatif yang ada," ujarnya.

"Namun dalam prakteknya, DPR justru berupaya menghalang-halangi pencairan anggaran untuk membangun gedung tersebut. DPR menyatakan bahwa anggaran KPK diberi tanda bintang sehingga tidak bisa digunakan," tambahnya.

Untuk itu, Koalisi Penegak Citra Parlemen mendesak agar Komisi III DPR mencabut tanda bintang pada alokasi anggaran gedung KPK.

Kedua, penggunaan fungsi legislasi untuk merevisi UU No 30 Tahu 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengarah pada pelumpuhan KPK. "Pelemahan kedua adalah dengan mempreteli instrumen kewenangan KPK terutama yang terkait penindakan hukum (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan)," ungkap dia.

Koalisi Penegak Citra Parlemen meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas menolak revisi UU No 30 Tahun 2002 dalam pembahasan dengan DPR. "Ini adalah periode genting dan krusial. Dua hal tersebut menjadi indikator utama pelumpuhan KPK," kata Ronald.

Koalisi Penegak Hukum terdiri dari Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Fatayat NU. (eh)