Peraturan Baru KPU Dinilai Ancam Kebebasan Pers
Jumat, 12 April 2013 - 19:51 WIB
Sumber :
- Antara/ Agus Bebeng
VIVAnews - Lembaga Bantuan Hukum Pers menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan peraturan pedoman pelaksanaan kampanye DPR, DPD, dan DPRD. KPU dianggap mereproduksi regulasi usang yang menghidupkan kembali regulasi pembelenggu dan menjadi ancaman kebebasan pers.
Peraturan KPU No 1 tahun 2013, tanggal 10 Januari 2013 tentang Pedoman pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum, anggota DPR, DPD dan DPRD, Bab VII tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye, pasal 36-46, selain mengatur tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye, juga mengatur sanksi.
Dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan, “Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 2 dapat berupa :a.teguran tertulis; b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. Pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; d. Denda; e. Pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu;atau f. Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.”
Berdasarkan kajian tiga LBH Pers, yakni LBH Pers Jakarta, LBH Pers Padang dan LBH Pers Surabaya, pasal tersebut merupakan aturan yang tercantum dalam pasal 57 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Padahal sebelumnya LBH Pers, bersama tujuh pemimpin redaksi media telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan pasal 57 ayat 1 UU No 42/2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden. MKM mengabulkan seluruh permohonan dengan menghapus pasal tersebut pada putusan permohonan perkara Nomor 99/PUU-VII/2009.
Substansi dari pasal yang sudah dibatalkan itu kembali diadopsi oleh KPU. LBH Pers berpendapat bahwa sanksi berupa pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 terutama pasal 28 dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers terutama pasal 18 ayat 2, pasal 18 ayat 3, pasal 4 ayat 2 dan pasal 1 butir 8 dan pasal 2.
”Pengaturan pencabutan izin sebagaimana pasal 46 ayat 1 Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah tidak memberlakukan lagi pemberedelan dan menurut Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999 tidak lagi memberlakukan penyensoran dan pemberedelan pasal 4 ayat 2,” kata Direktur LBH Pers Jakarta, Nawawi.
Hal senada juga disampaikan Direktur LBH Pers Padang, Roni Saputra. Ia menilai, kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi harus mendapatkan jaminan konstitusional yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
”Pers Indonesia juga mengalami terobosan yang sangat progresif. Pemerintahan Habibie memutuskan untuk menghapus Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) di era sebelumnya, SIUPP merupakan salah satu mekanisme manjur untuk membatasi ruang gerak pers,” ujar Roni.
LBH Pers menilai Pasal 46 ayat 1 Peraturan KPU No. 1 Tahun 2013 yang intinya berisi jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh KPI atau Dewan Pers, hanya relevan untuk lembaga penyiaran, karena hanya merupakan copy paste dari ketentuan dalam UU 32/2002 dan tidak relevan untuk media massa cetak. Sedangkan Pasal 46 ayat 1 huruf f Peraturan KPU itu, bagi lembaga penyiaran berdasarkan UU 32/2002 memang dimungkinkan, namun bukan oleh KPI melainkan oleh pemerintah (Menkominfo).
”Sanksi ini jelas tidak dapat diberlakukan kepada media cetak karena UU 40/1999 tidak lagi mengenal lembaga perizinan penerbitan media massa cetak. Lebih jauh, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, yakni menimbulkan ketidakpastian hukum dan juga melanggar prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945,” ujar Roni.
Untuk itu, LBH Pers mengeluarkan pernyataan sikap. Pertama Menuntut Komisi Pemilihan Umum untuk membatalkan Peraturan KPU No 1 tahun 2013, tanggal 10 Januari 2013, tentang : Pedoman pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum, anggota DPR, DPD dan DPRD. Ke-2, menuntut KPU untuk melakukan prinsip kehati-hatian dalam membuat regulasi. Dan terakhir, menuntut KPU untuk melibatkan KPI dan Dewan Pers dalam melakukan perumusan peraturan mengenai kampanye melalui media.
KPU Membantah
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ferry Kurnia Rizkiyansyah membantah adanya wacana pemberedelan media yang memuat materi kampanye partai politik di luar masa pemilu. Menurutnya, sanksi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak bukanlah wewenang KPU.
"Tidak ada wacana untuk pemberedelan. Tapi lebih lanjut (pembahasannya) ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers," kata Ferry saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat 12 April 2013.
Ferry mengatakan bahwa pihaknya masih membahas aturan kampanye yang melibatkan insan pers bersama Dewan Pers dan KPI. Oleh karena itu, dia tidak dapat menentukan bentuk sanksi untuk media yang melakukan pelanggaran.
"Jika itu dari televisi, radio, penyiaran ke KPI. Kalau soal partainya ke wilayah kami. Sudah ada pembagian," ujarnya.
Terkait dengan pasal 46 ayat (1) huruf f Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 yang menyebutkan ancaman pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa, Ferry menilai aturan tersebut masih bisa berubah.
"Bisa saja ada perubahan dan tidak ke arah sana (menggunakan pasal 46)," ucapnya. (umi)
Baca Juga :
Peraturan KPU No 1 tahun 2013, tanggal 10 Januari 2013 tentang Pedoman pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum, anggota DPR, DPD dan DPRD, Bab VII tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye, pasal 36-46, selain mengatur tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye, juga mengatur sanksi.
Dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan, “Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 2 dapat berupa :a.teguran tertulis; b. penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. Pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; d. Denda; e. Pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu;atau f. Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.”
Berdasarkan kajian tiga LBH Pers, yakni LBH Pers Jakarta, LBH Pers Padang dan LBH Pers Surabaya, pasal tersebut merupakan aturan yang tercantum dalam pasal 57 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Padahal sebelumnya LBH Pers, bersama tujuh pemimpin redaksi media telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan pasal 57 ayat 1 UU No 42/2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden. MKM mengabulkan seluruh permohonan dengan menghapus pasal tersebut pada putusan permohonan perkara Nomor 99/PUU-VII/2009.
Substansi dari pasal yang sudah dibatalkan itu kembali diadopsi oleh KPU. LBH Pers berpendapat bahwa sanksi berupa pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 terutama pasal 28 dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers terutama pasal 18 ayat 2, pasal 18 ayat 3, pasal 4 ayat 2 dan pasal 1 butir 8 dan pasal 2.
”Pengaturan pencabutan izin sebagaimana pasal 46 ayat 1 Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah tidak memberlakukan lagi pemberedelan dan menurut Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999 tidak lagi memberlakukan penyensoran dan pemberedelan pasal 4 ayat 2,” kata Direktur LBH Pers Jakarta, Nawawi.
Hal senada juga disampaikan Direktur LBH Pers Padang, Roni Saputra. Ia menilai, kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi harus mendapatkan jaminan konstitusional yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
”Pers Indonesia juga mengalami terobosan yang sangat progresif. Pemerintahan Habibie memutuskan untuk menghapus Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) di era sebelumnya, SIUPP merupakan salah satu mekanisme manjur untuk membatasi ruang gerak pers,” ujar Roni.
LBH Pers menilai Pasal 46 ayat 1 Peraturan KPU No. 1 Tahun 2013 yang intinya berisi jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh KPI atau Dewan Pers, hanya relevan untuk lembaga penyiaran, karena hanya merupakan copy paste dari ketentuan dalam UU 32/2002 dan tidak relevan untuk media massa cetak. Sedangkan Pasal 46 ayat 1 huruf f Peraturan KPU itu, bagi lembaga penyiaran berdasarkan UU 32/2002 memang dimungkinkan, namun bukan oleh KPI melainkan oleh pemerintah (Menkominfo).
”Sanksi ini jelas tidak dapat diberlakukan kepada media cetak karena UU 40/1999 tidak lagi mengenal lembaga perizinan penerbitan media massa cetak. Lebih jauh, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, yakni menimbulkan ketidakpastian hukum dan juga melanggar prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945,” ujar Roni.
Untuk itu, LBH Pers mengeluarkan pernyataan sikap. Pertama Menuntut Komisi Pemilihan Umum untuk membatalkan Peraturan KPU No 1 tahun 2013, tanggal 10 Januari 2013, tentang : Pedoman pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum, anggota DPR, DPD dan DPRD. Ke-2, menuntut KPU untuk melakukan prinsip kehati-hatian dalam membuat regulasi. Dan terakhir, menuntut KPU untuk melibatkan KPI dan Dewan Pers dalam melakukan perumusan peraturan mengenai kampanye melalui media.
KPU Membantah
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ferry Kurnia Rizkiyansyah membantah adanya wacana pemberedelan media yang memuat materi kampanye partai politik di luar masa pemilu. Menurutnya, sanksi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak bukanlah wewenang KPU.
"Tidak ada wacana untuk pemberedelan. Tapi lebih lanjut (pembahasannya) ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers," kata Ferry saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat 12 April 2013.
Ferry mengatakan bahwa pihaknya masih membahas aturan kampanye yang melibatkan insan pers bersama Dewan Pers dan KPI. Oleh karena itu, dia tidak dapat menentukan bentuk sanksi untuk media yang melakukan pelanggaran.
"Jika itu dari televisi, radio, penyiaran ke KPI. Kalau soal partainya ke wilayah kami. Sudah ada pembagian," ujarnya.
Terkait dengan pasal 46 ayat (1) huruf f Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 yang menyebutkan ancaman pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa, Ferry menilai aturan tersebut masih bisa berubah.
"Bisa saja ada perubahan dan tidak ke arah sana (menggunakan pasal 46)," ucapnya. (umi)