Presiden Akan Datang, Ratusan Aktivis Papua Ditangkapi

Presiden Joko Widodo di Papua
Sumber :
  • VIVAnews/Banjir Ambarita (Papua)
VIVA.co.id - Ratusan aktivis politik Papua dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Parlemen Rakyat Daerah (PRD) dilaporkan ditangkapi dan ditahan aparat Kepolisian menjelang kedatangan Presiden Joko Widodo ke wilayah itu.

Menurut laporan Amnesty International, paling sedikit ada 264 aktivis politik yang ditangkap dan ditahan secara semena-mena pada pekan lalu.

Tak dijelaskan alasan penangkapan itu. Amnesty hanya menyebut bahwa para aktivis itu merencanakan unjuk rasa damai seputar peringatan ke-52 tahun penyerahan Papua kepada pemerintah Indonesia dari  Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Mei 1963.

“Padahal itu hanya sebuah kebebasan berekspresi. Itu adalah pengekangan sistematis terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai,” kata Juru Kampanye Amnesty International, Josef Roy Benedict, melalui pesan elektroniknya pada Jumat, 8 Mei 2015.

Amnesty menyerukan kepada Presiden Joko Widodo mengambil langkah segera untuk mengakhiri meningkatnya serangan terhadap kebebasan berekspresi di Papua.

Josef menerangkan, di Papua Barat, Polisi menangkap 12 aktivis KNPB pada 30 April 2015  saat mereka sedang membagikan selebaran tentang rencana unjuk rasa di Kota Manokwari. "Esok harinya, polisi menangkap lebih dari 200 pengunjuk rasa yang sedang dalam perjalanan menuju lokasi demonstrasi di dekat kantor Dewan Adat Papua Manokwari," ujarnya.

Aparat Kepolisian maupun TNI, katanya, juga menggunakan kekerasan berlebihan untuk membubarkan unjuk rasa damai di Kota Kaimana pada 1 Mei dan menangkap dua aktivis KNPB.

Di Papua, polisi menangkap 15 aktivis KNPB dan satu aktivis PRD di Merauke pada 1 Mei untuk mencegah mereka mengorganisasi aksi unjuk rasa. Sementara di Jayapura, Polisi setempat menangkap 30 aktivis KNPB pada hari yang sama ketika mereka sedang menunju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang dalam rencananya menjadi lokasi unjuk rasa.

"Menurut polisi, penangkapan dilakukan terhadap kelompok-kelompok ini karena mereka tidak mendapat izin untuk melakukan unjuk rasa," katanya.

Represif

Meski sebagian besar aktivis telah dilepaskan tanpa dikenakan ancaman pidana, penangkapan semena-mena itu menandakan kondisi represif.

Amnesty International mengakui bahwa pemerintah Indonesia memiliki tugas dan hak untuk menjaga ketertiban umum. Namun pemerintah pula harus memastikan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai tidak boleh melebihi yang diperbolehkan di bawah hukum HAM internasional, termasuk Kovenan Interansional Hak-hak Sipil dan Politik.

Di bawah hukum Indonesia, Josef menambahkan, kelompok-kelompok yang mengorganisasi unjuk rasa di muka umum hanya diwajibkan untuk memberitahukannya kepada polisi. "Tapi ketentuan-ketentuan ini terus diabaikan oleh aparat keamanan di Papua yang terus melakukan pembatasan yang tidak perlu terhadap berbagai bentuk unjuk rasa terhadap pemerintah yang dilakukan oleh para mahasiswa, kelompok-kelompok politik, dan organisasi HAM non-pemerintah.”

“Dalam beberapa kasus, pasukan keamanan menggunakan kekuatan berlebih terhadap unjuk rasa damai," kata Josef.

Pro kemerdekaan Papua

Amnesty International juga prihatin terhadap ancaman pidana pada lima anggota Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), sebuah kelompok pro kemerdekaan Papua. Lima orang (Don Flassy, Lawrence Mehue, Mas Jhon Ebied Suebu, Onesimus Banundi, dan Elias Ayakeding) ditangkap ketika mereka kembali ke Papua setelah bertemu Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 10 April 2015 di Jakarta dan diancam dengan pidana makar di bawah Pasal 106 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Penegak hukum Indonesia telah menggunakan pasal ini, bersama Pasal 110 dari KUHP, untuk mengkriminalisasi puluhan aktivis pro kemerdekaan yang melakukannya secara damai, selama dekade terakhir. Amnesty International terus menyerukan pembebasan mereka secara segera dan tanpa syarat," ujarnya.

Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun terhadap status politik Papua, atau provinsi lain di Indonesia. Organisasi ini percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk secara damai memperjuangkan referendum, kemerdekaan, atau solusi politik lain yang tidak melibatkan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.

Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua pada 8 Mei 2015 menyajikan kesempatan yang nyata baginya untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya akan meninggalkan kebijakan yang represif masa lalu. Jokowi juga harus mencari solusi yang kredibel untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dihadapi warga Papua.

"Presiden harus memulainya dengan secara terbuka ke publik menginstruksikan aparat keamanan untuk menghormati dan melindungi hak orang-orang Papua atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, dan membebaskan para tahanan nurani segara dan tanpa syarat," kata Josef.