Chappy Hakim: Sepekan 2 Kecelakaan Pesawat, Ada Hal Serius

Lokasi ditemukanya puing pesawat Trigana Air yang jatuh didaerah pegunungan di distrik Oksibil, Papua, Selasa (18/8/2015).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id - Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, mencermati dunia penerbangan Indonesia menyusul sejumlah kecelakaan pesawat terbang di Indonesia.

Chappy mengingatkan secara khusus berbagai peristiwa kecelakaan pesawat, terutama sekali musibah serupa yang terjadi beruntun dalam waktu yang berdekatan. Pertama, pesawat Komala Air yang mengalami kecelakaan di Lapangan Terbang perintis Ninia, Yahukimo, Papua, pada 12 Agustus 2015. Kedua, pesawat Trigana Air yang jatuh di Kampung Bape, perbatasan Distrik Oksob dengan Seram, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, pada 16 Agustus 2015.

Kecelakaan itu, kata Chappy, hanya selisih empat hari. Korbannya tak sedikit. Belum lagi dihitung kecelakaan pesawat militer Hercules yang jatuh di Medan, Sumatera Utara, pada 30 Juni 2015.

“Kecelakaan terjadi beruntun dan dalam waktu yang sangat dekat (beberapa hari saja). Dapat disimpulkan kemudian bahwa telah terjadi sesuatu yang sangat-amat serius dalam dunia penerbangan kita,” kata Chappy seperti dikutip dari laman pribadinya, Chappyhakim.com, pada Kamis, 20 Agustus 2015.

Menurutnya, Federal Aviation Administration (FAA), otoritas penerbangan Amerika, menempatkan Indonesia dalam kelompok negara yang un-safe atau tak aman untuk penerbangan. Penerbangan di Indonesia dinilai tidak memenuhi persyaratan keselamatan terbang internasional, seperti yang diberlakukan International Civil Aviation Organization (ICAO).

Sejak 2007, Otoritas Penerbangan Uni Eropa telah melarang seluruh maskapai penerbangan Indonesia masuk ke wilayah udara Uni Eropa. Belakangan mereka memberikan izin kepada beberapa maskapai yang dipandang sudah dapat memenuhi standar keselamatan terbang internasional.

ICAO kemudian mendapatkan lebih 120 temuan yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak memenuhi persyaratan dari standar keselamatan terbang. “Inilah sebenarnya yang dipandang sebagai atau menjadi penyebab utama,” katanya.

SDM dan infrastruktur

Tim Nasional Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi bentukan Presiden kala itu menemukan sejumlah fakta mengejutkan. Di antaranya, ternyata banyak jabatan pada institusi penyelenggara penerbangan yang diduduki orang yang sama sekali tidak memiliki kompetensi; tidak atau kurang mempunyai latar belakang pengetahuan mengenai penerbangan.

“Hal ini terbukti di belakang hari, antara lain, tentang airport (bandara) yang berkembang melebihi sampai tiga kali kapasitasnya dan mengakibatkan keterlambatan jadwal penerbangan sampai 12 jam,” ujar Chappy.

Temuan lain adalah otoritas penerbangan Indonesia terlalu mudah memberikan izin. Di sisi lain kurang tegas menjatuhkan sanksi bagi pelanggar aturan standar keselamatan terbang.

“Maskapai menjadi banyak sekali. Demikian pula jumlah pesawat terbang yang dibeli/disewa berdatangan terus tanpa kesan ada pembatasan yang diperlukan bagi kemampuan untuk fasilitas yang tersedia dan atau juga kegiatan pengawasan,” katanya.

Akibat semua itu, Chappy menambahkan, Indonesia mengalami kekurangan banyak sekali sumber daya manusia (SDM) penerbangan dan ketertinggalan fasilitas infrastrukturnya. “Ini semua menjadi cukup untuk menjelaskan tentang begitu terbukanya peluang terjadinya kecelakaan,” katanya.

Situasi tak baik itu didukung tuntutan pasar angkutan udara yang terus meningkat telah menggoda banyak orang dalam usaha meraih keuntungan. “Maka terciptalah peluang bisnis yang berhadapan dengan kekurangan SDM dan infrastruktur.

Gaji inspektor

Ada pula catatan ICAO yang menunjuk betapa inspektor penerbangan Indonesia sangat kurang dari segi kuantitas dan kualitas. Ditambah bayaran alias gaji yang diterima para inspektor itu dinilai sangat jauh dari yang seharusnya.

“Di sini menjadi sangat terang benderang, apa yang akan terjadi bila kondisi tersebut dibiarkan berjalan seperti biasa,” katanya, menganalisis.

Kenyataan itu menggambarkan dunia penerbangan Indonesia selama 10-15 tahun terakhir. Kementerian Perhubungan kini tengah bekerja keras dan berusaha untuk dapat mengatasi kondisi yang sangat serius itu. Mereka berhadapan dengan tantangan yang tidak mudah.

Menurutnya, tanpa bantuan dari seluruh pemangku kepentingan di bidang penerbangan nasional serta koordinasi lintas kementerian, sulit sekali Menteri Perhubungan dapat berhasil mengukir ulang kisah suksesnya.