Perlu Payung Hukum Soal SK Berhenti Peserta Pilkada
Rabu, 21 Oktober 2015 - 23:40 WIB
Sumber :
- Mohammad Nadlir - VIVA.co.id
VIVA.co.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan tetap mengakomodir calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang belum bisa menyerahkan SK Pemberhentian hingga batas yang telah ditentukan.
Masykurudin Hafidz Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengatakan bahwa memang semestinya SK tersebut tidak menjadi masalah. Menurutnya ketika calon mendaftarkan diri secara otomatis cukup untuk dianggap bersungguh-sungguh.
"Pengajuan surat mengundurkan diri secara subtansial sudah cukup membuktikan calon untuk maju sebagai calon kepala daerah," kata Masykur melalui pesan singkatnya, Rabu 21 Oktober 2015.
Baca Juga :
Masykurudin Hafidz Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengatakan bahwa memang semestinya SK tersebut tidak menjadi masalah. Menurutnya ketika calon mendaftarkan diri secara otomatis cukup untuk dianggap bersungguh-sungguh.
"Pengajuan surat mengundurkan diri secara subtansial sudah cukup membuktikan calon untuk maju sebagai calon kepala daerah," kata Masykur melalui pesan singkatnya, Rabu 21 Oktober 2015.
Masykur menambahkan, proses yang lambat dalam penerbitan SK pemberhentian seharusnya tidak mempengaruhi pencalonan mereka.
"Kalau proses tetap harus, dan karena terbitnya keluar SK membutuhkan kewenangan pihak lain maka pihak lain itu yang harus bertanggungjawab," ujarnya.
Karenanya, kata Masykur jika ada gugatan, perlu dipilah mana surat pengajuan mundur dan mana SK pengunduran yang pihak lain terlibat.
"Harus dibedakan itu, ini surat pengajuan undur diri dan surat pengunduran diri yang membutuhkan pihak lain untuk menyetujui," ujarnya.
Seperti diketahui, paling lambat 60 hari pasca penetapan peserta Pilkada tanggal 24 Agustus 2015 lalu, calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah wajib menyerahkan SK pemberhentian diri dari jabatannya kepada KPU daerah masing-masing.
Akan tetapi hingga mendekati batas akhir penyerahan SK tersebut, ratusan lebih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah belum juga bisa memenuhi syarat yang diminta. Alasannya institusi terkait tak kunjung mengeluarkan SK tersebut.
Perlu payung hukum
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, perlakuan berbeda dari ketentuan yang ada di Peraturan KPU (PKPU) harus dipayungi aturan hukum agar nantinya tidak menimbulkan persoalan baru.
"Saya kira tetap saja pengaturan tersebut harus dipayungi dalam Peraturan KPU agar memberikan jaminan hukum yang lebih pasti dan kuat," ujar Titi.
Titi menambahkan, kebijakan itu nantinya dituangkan dalam Surat Edaran KPU, namun itu tidak menjamin kepastian hukum yang lebih kuat. Apalagi kata Titi, kebijakan itu masih memunculkan tanda tanya karena hanya berlaku bagi calon yang dinilai sungguh-sungguh telah memproses pengunduran dirinya.
"Makanya indikator sudah bersungguh-sungguh itu harusnya dibuat secara lebih terukur oleh KPU sehingga dalam pelaksanaan di lapangan tidak ambigu dan tidak subyektif atas penilaian KPU di daerah," ujar Titi.
Meski memahami latarbelakang pengambilan kebijakan yang ada, seperti kuat ada indikasi kesengajaan pihak yang tidak menerbitkan SK pemberhentian tersebut lantaran permainan politik. Akan tetapi kata Titi, perlu juga dorongan kepada lembaga yang berwenang tersebut mengeluarkan SK.
"Sebenarnya tidak ada alasan memperlama atau mempersulit proses pemberhentian calon. Mestinya mereka calon yang SK-nya bermasalah otomatis kehilangan statusnya sebagai sebagai anggota DPR, DPRD, TNI, Polri, ataupun PNS seketika ditetapkan sebagai pasangan calon. Sehingga pejabat berwenang bisa langsung mengeluarkan SK pemberhentian," ujar Titi.
Untuk itu perlu ada evaluasi kepada lembaga terkait mengenai proses keluar SK Pemberhentian yang lama, sementara si calon telah meninggalkan pekerjaaan atau jabatannya selama proses tahapan Pilkada berlangsung.
"Perlu ada evaluasi terutama bagi kepala daerah yang terkesan enggan mengeluarkan SK pemberhentian, juga DPR dan DPRD mestinya tak perlu menunggu surat dari parpol, prosedur yang ada sekarang sangat rumit dan cenderung membuka celah permainan," ujarnya.