Ketua Muhammadiyah: Putusan IPT 1965 Tidak Proporsional

Sidang IPT 1965.
Sumber :
  • www.tribunal1965.org

VIVA.co.id - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhadjir Effendy, menilai hasil keputusan sidang International People's Tribunal (IPT) 1965 – yang menyebut Tragedi pembantaian massal atas warga yang dicurigai pengikut Partai Komunis Indonesia tahun 1965 adalah kejahatan negara sehingga pemerintah Indonesia harus meminta maaf – tidaklah proporsional. Muhadjir mengatakan tragedi ini harus dilihat sejarahnya secara utuh.

Sebab, lanjut dia, tragedi tahun 1965 adalah rangkaian dari kejadian-kejadian sebelumnya, seperti, pembantaian oleh Partai Komunis Indonesia tahun 1948 di Madiun, Jawa Timur.

"Sangat tidak proporsional. PKI yang harus minta maaf atas bangsa ini, atas pemberontakan sejak 1948 sampai 1965. Bahwa imbas ada yang tidak bersalah, sangat mungkin terjadi," jelas Muhadjir, kepada VIVA.co.id, Kamis, 21 Juli 2016.

Menurut dia, kejadian tahun 1965 adalah rentetan dari pemberontakan-pemberontakan PKI sebelumnya. Sehingga menurutnya, yang justru harus meminta maaf adalah PKI itu sendiri. Hanya saja, saat ini tentu tidak ada yang akan mau mengaku sebagai perwakilan PKI.

"Definisi tidak bersalah juga kan susah, lama sekali. Antara siapa yang memang harus dieksekusi dan siapa yang sebetulnya hanya kena imbas saja itukan harus dicek. Kalau permintaan maaf tidak pada PKI, tapi korban yang sebetulnya tidak ada sangkut paut dengan PKI tetapi kena imbas," kata mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.

Muhadjir, yang juga menjadi korban dari peristiwa pembantaian di Madiun itu menceritakan, saat itu hingga tahun 1965 memang situasinya sangat mencekam. Bahkan ia menyebut, kondisi saat itu bisa dibilang negara dalam keadaan perang.

"Saya kira pengadilan itu sangat tidak adil karena hanya melihat penggalan sejarah tanpa memperhatikan bahwa apa yang terjadi 1965 itu sebagai bentuk reaksi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya dan itu yang memulai jelas PKI," katanya.

Peristiwa-peristiwa sebelumnya, maksud Muhadjir adalah pemberontakan Madiun. Di mana, kata dia, banyak kiai dan birokrat yang dibunuh, hanya karena tidak ingin ikut perintah PKI. Sehingga, bagi Muhadjir, peristiwa tahun 1965 terkait penumpasan PKI, adalah reaksi yang massif dari apa yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya oleh PKI.

"Dan waktu itu saya kira sebelumnya situasi abnormal walau tidak dalam keadaan perang tapi waktu itu memang anomali, sehingga memang akibatnya banyak juga yang memang korban yang tidak bersalah, tapi bukan berarti semua korban yang tidak bersalah tapi banyak memang yang harus dieksekusi waktu itu karena melakukan aksi," jelasnya.

Muhadjir menceritakan, pada tahun 1965 ia masih berumur 8-9 tahun. Namun, ayahnya sudah menjadi incaran saat itu. Bahkan, peristiwa tahun 1948, kakeknya hampir dieksekusi. Tapi beruntung, ada pasukan RPKAD (sekarang Kopassus) yang langsung dibebaskan. Begitu juga pada tahun 1965. Karena ayahnya adalah tokoh Masyumi dan kiai, sehingga terus diincar oleh PKI.

"Itu rumah saya tiap hari dijaga Pemuda Marhaen dan Pemuda Muhammadiyah untuk menjaga kemungkinan terjaidnya penculikan. Ayah saya bekas ketua Masyumi distrik Caruban (Madiun), tahun 1965 ayah saya jadi penasihat PNI, kalau non-politik Muhammdiyah," katanya.

Sidang Internasional People's Tribunal (IPT) 1965 mengeluarkan putusan final. Majelis Hakim menyatakan bahwa Indonesia bertanggung jawab dan bersalah atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui sistem komando.

Tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh Indonesia dengan dikomandoi oleh militer itu meliputi; pembunuhan, hukuman penjara, perbudakan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, keterlibatan negara lain dan genosida.

(ren)