Tersangkut Kasus Irman Gusman, Jaksa Sumbar Dibawa ke KPK

Tersangka Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Farizal (tengah), dikawal petugas Kejagung saat diantar untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/9/2016)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA.co.id – Fahrizal, jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, akhirnya mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 21 September 2016. Ia akan menjalani pemeriksaan atas dugaan suap senilai Rp365 juta terkait penangan perkara distribusi gula impor tanpa label SNI, yang menjerat Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman.

Fahrizal tampak hadir di gedung KPK sambil didampingi enam orang jaksa dari Kejaksaan Agung. Fahrizal dibawa langsung dari Kejaksaan Agung setelah sejak Senin, 19 September 2016, menjalani pemeriksaan etik oleh Jaksa Muda Bidang Pengawasan di Kejagung. Saat ditanyai wartawan, Fahrizal enggan memberi keterangan dan langsung masuk kantor KPK.

Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha, pemeriksaan perdana kepada Fahrizal hari ini merupakan penjadwalan ulang karena sebelumnya batal akibat adanya pemeriksaan oleh Kejagung.

"Sedianya Jaksa F, diperiksa itu Senin (19/9) tapi karena dia diperiksa etik oleh Jamwas Kejagung, maka baru hari ini diperiksa sebagai tersangka," kata Priharsa, Rabu 21 September 2016.

Priharsa menyatakan terkait penahanan Fahrizal itu nanti akan diputuskan penyidik. Namun sampai saat ini, belum ada keputusan untuk penahanan jaksa yang menerima suap Rp365 juta dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto. "Belum tahu apakah akan langsung ditahan atau tidak," katanya.

Siapkan Sanksi

Sebelumnya, Kejagung menyatakan akan berkoordinasi dengan KPK terkait dugaan kasus suap yang dilakukan Jaksa Farizal. Jika terbukti melanggar, Korps Adhyaksa itu tidak segan-segan bakal menjatuhkan sanksi berat sesuai mekanisme berlaku.

Menurut Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono, pihaknya juga berencana memanggil sejumlah pihak yang menjadi atasan Fahrizal di Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat.

"Kami minta laporan dan keterangan dari mereka dulu," kata Widyo, Senin lalu.

Kasus Fahrizal ini adalah bagian dari operasi tangkap tangan Ketua DPD RI, Irman Gusman. Irman diduga menerima suap Rp100 juta dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi terkait rekomendasi kuota distribusi gula impor di Sumatera Barat.

Kasus ini bermula dari KPK menyelidiki dugaan pemberian uang Xaveriandy kepada Jaksa Penuntut Umum Kejari Sumatera Barat Fahrizal. Pemberian duit berkaitan kasus penjualan gula oleh CV Rimbun Padi Berjaya tanpa label SNI di Sumbar yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri Padang.

Dalam proses pengadilan, Xaveriandy yang mantan Direktur CV Rimbun Padi Berjaya diduga membayar Jaksa Farizal untuk membantunya dalam persidangan. Farizal diduga menerima duit Rp365 juta dari Xaveriandy.

Di tengah penyelidikan perkara ini, KPK mengetahui ada pemberian uang untuk Irman, tapi dalam kasus lain. Irman diduga menerima duit Rp100 juta karena menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi pejabat tertentu terkait pengurusan kuota gula impor yang diberikan Bulog pada CV Semesta Berjaya tahun 2016 di Sumbar. Dia diduga memberikan rekomendasi pada CV Semesta Berjaya supaya mendapat tambahan jatah.

Terkait pemberian uang kepada jaksa, KPK menetapkan Fahrizal dan Xaveriandy sebagai tersangka. Fahrizal disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Xaveriandy sebagai pemberi suap dijerat pasal berbeda. Dia disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Terkait tangkap tangan di rumah Irman, KPK menetapkan Irman, Xaveriandy dan istri Xaveriandy, Memi sebagai tersangka suap. Irman sebagai tersangka penerima suap diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi.

Sementara Pasangan Xaveriandy dan Memi  jadi tersangka pemberi suap. Keduanya disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

 

(ren)