Romli: Tak Ada Penyidik Independen di KPK

Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jojon

VIVA.co.id – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan hari ini kembali menggelar sidang lanjutan permohonan praperadilan, yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, tersangka kasus dugaan korupsi terkait penerbitan Izin Usaha Pertambangan di Provinsi Sulawesi Tenggara, terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sidang lanjutan permohonan praperadilan yang dipimpin Hakim tunggal I Wayan Karya itu mengagendakan keterangan ahli dari pihak pemohon. Pihak pemohon menghadirkan Romli Atmasasmita, ahli hukum pidana dan sekaligus merupakan guru besar ilmu hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat.

Pada keterangannya, Romli banyak ditanya terkait keikutsertaannya dalam merumuskan Undang-undang KPK. Selain itu , pihak pengacara Nur Alam juga menanyakan pendapat ahli terkait status penyidik dan penyelidik dari KPK yang menangani kasus Nur Alam.

Romli menjelaskan pada awal perumusan UU KPK, salah satunya lantaran adanya keinginan pemerintah untuk melakukan pencegahan perilaku korupsi dan memberikan efek jera serta terapi kejut kepada penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi, agar diberi pidan lebih berat.

Romli menyebut kesepakatan awal saat dirumuskan, penyidik dan penyelidik harus berasal dari Polri dan Kejaksaan. Selain itu, penuntut umum berasal dari Kejaksaan. Menurut dia, tidak ada istilah penyidik atau penyelidik independen.

"Kesepakatan awal saat merumuskan, penyidik harus Polri, nggak ada dari yang lain, nggak ada independen. Mengacunya tetap ke KUHAP. Saat ketok palu penyidik Polri, penuntut jaksa. Tafsir bahwa independen saya nggak dengar. Gak disebut penyidik penyelidik dan penuntut sendiri. Nggak ada," kata Romli saat sidang di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan, Senin 10 Oktober 2016.

Dia menerangkan, bahwa penyelidik dan penyidik serta penuntut itu disebut penyelidik dan penyidik pada KPK. Sebab kata dia, agar tidak terjadi loyalitas ganda kepada institusinya serta konflik kepentingan saat mengusut kasus yang melibatkan anggota Polri maupun dari Kejaksaan.

"Kenapa disebut penyidik dan penyelidik pada KPK. Karena Penyidik dan penuntut itu harus berenti sementara, takut ada loyalitas ganda. maka diberi kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik dan penyelidik yang merupakan dari Polri dan Kejaksaan," ungkapnya.

"Setiap orang yang ditunjuk Polisi dan Jaksa maka ada surat tugas mengutus penyidik dan penyelidik untuk kasus ini. Misal kejaksaan, gak semua jaksa itu penuntut. Gak semua polisi itu penyidik," lanjut Romli.

 

(ren)