Negeri Rawan Bencana
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Selasa malam, 20 September 2016, menjadi hari yang tak terlupakan bagi Ghea Pradina. Pria yang sehari-hari menjadi konsultan teknologi informasi ini harus kehilangan empat anggota keluarganya saat bencana banjir bandang menghantam tujuh kecamatan di Garut, Jawa Barat.
Ghea kehilangan istri, Wellis N. Rahayu; anaknya yang masih berusia dua bulan, Masayu Kalea Pradina; serta kedua mertuanya, Y. Suryana dan Win Sukaningsih. Bahkan jenazah Kalea dan Suryana termasuk 18 korban yang dinyatakan hilang.
Selain empat anggota keluarga, rumahnya juga hanyut saat gelombang air menerjang Kampung Lapangan Paris, Desa Sukakarya, Kecamatan Tarogong Kidul, sekitar pukul 22.00 WIB.
Sebulan setelah peristiwa itu, VIVA.co.id menemui Ghea di tempat pengungsian, Kamis, 20 Oktober 2016. Emosinya sudah lebih tenang, walaupun kedua matanya masih terlihat menerawang dan berharap keluarganya yang hilang bisa ditemukan selamat.
Ghea menuturkan, saat peristiwa itu terjadi, dia sedang berada di Cirebon untuk melaksanakan tugasnya sebagai konsultan. Tak ada firasat mengenai datangnya bencana ini. "Saat saya tidur, saya gelisah. Hingga akhirnya kabar bencana saya terima Rabu pagi (21 September 2016) yang disampaikan paman saya, " ujarnya.
Selepas itu, dia bergegas menuju Garut. Sekitar pukul 06.30 WIB tiba di Kampung Paris, Ghea termenung menyaksikan tanah tempat rumahnya biasa berdiri, kini menjadi tumpukan puing. Tak ada lagi anggota keluarga yang senantiasa menyambut hangat ketika dia pulang.
"Padahal saya terakhir berkomunikasi dengan istri saya, Selasa pagi saat akan berangkat bekerja, melalui pesan BBM," ujarnya menambahkan.
Selepas itu, dia berusaha mengumpulkan informasi dan mencari keluarganya. Satu-satu dia hampiri berbagai posko yang tersebar di tujuh kecamatan terdampak. Hingga akhirnya, jenazah istri dan ibu mertuanya ditemukan sudah meninggal dunia. Namun keberadaan anak dan bapak mertuanya masih misteri.
Sebagai korban, Ghea berhak atas beragam bantuan, baik logistik maupun sosial. Dia sudah menerima hak itu, termasuk santunan dari Kementerian Sosial sebesar Rp15 juta untuk dua korban meninggal yang jenazahnya sudah ditemukan. "Kalau yang dua hilang memang belum ada santunan," ucap Ghea.
Sama seperti Ghea, korban lain adalah Dede Hermawan (44), warga Kampung Sukaasih, Desa Haurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul. Kampung ini berada di dekat Desa Sukakarya tempat Ghea dan keluarganya tinggal. Dalam bencana ini, Dede tak kehilangan anggota keluarga, tapi sebagian harta berharga karena sebagian rumahnya hanyut. Dede selamat karena kebetulan sedang berada di pinggir sungai malam itu. Dia pun berkesempatan menyaksikan bagaimana air bah itu datang dan membawa serta semua yang dilaluinya.
Saat berada di pinggir Sungai Cimanuk, sekitar pukul 22.00 WIB, Dede bersama beberapa warga melihat adanya kenaikan air yang begitu cepat. Dia langsung memberikan peringatan pada warga agar pergi meninggalkan rumah mereka, sambil berlari menuju rumahnya.
Hal ini karena rumahnya berjarak sekitar 50 meter dari tepi Sungai Cimanuk. Benar saja, begitu tiba di rumah, ketinggian air sudah mencapai pinggul orang dewasa. Tanpa banyak pertimbangan, dia langsung meminta seisi rumah pergi keluar, sambil menggendong empat anaknya sekaligus menuju dataran tinggi.
" Air naik sangat cepat, saya berlari karena air seakan-akan mengejar saya," ujarnya saat ditemui di rumahnya, Kamis, 20 Oktober 2016.
Setelah anak dan istrinya selamat, Dede kembali lagi ke arah sungai untuk berusaha membantu warga lainnya yang terjebak banjir. Satu yang masih membebani pikirannya adalah ketidakmampuannya menolong seorang warga yang dia lihat berlindung di atas pohon. "Paling sulit dilupakan saat saya tidak bisa menolong warga seberang Sungai Cimanuk yang sedang di atas pohon, hanyut bersama pohonnya yang tumbang diterjang banjir," ujarnya mengenang.
Adanya peringatan dari warga memberikan kesempatan bagi sebagian besar masyarakat di Kampung Sukaasih, untuk menyelamatkan diri menuju dataran tinggi. Namun, masih ada warga yang mencari selamat dengan naik ke genting, sehingga terjebak ketika air terus meninggi.
Melihat air semakin mengancam, mereka naik ke atap rumah, untuk mencari perlindungan di Masjid setempat yang memiliki atap tembok beton. Sebab berdasarkan perkiraannya, ketinggian air bisa mencapai tiga meter, karena melebihi atap rumah yang tak bertingkat.
Meski Dede tak ikut mengungsi dan lebih memilih tinggal di rumah, karena kondisinya sudah bersih dari lumpur dan memadai untuk ditinggali. Dede tetap tercatat sebagai korban yang akan direlokasi ke rumah susun. Sebab, banjir bandang di kawasan ini bukan yang pertama kali. Saban intensitas hujan meningkat, biasanya banjir pun mengikuti.
Ghea dan Dede sama-sama pasrah terhadap bencana yang sudah datang, tapi mereka menyesalkan karena peristiwa ini sebenarnya bisa dicegah. Mereka beranggapan banjir kali ini lebih parah karena adanya manusia yang merusak lingkungan di daerah hulu Sungai Cimanuk. “Ya, kerusakan alam akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan menjadi peyebab bajir bandang."
Senada dengan itu, Ghea pun merasa penyebab banjir ini adalah kerusakan akibat maraknya penebangan liar. Dia hanya meminta aparat bertindak tegas karena ulah mereka membawa petaka. "Para perusak alam ini ditindak tegas, karena telah merugikan masyarakat umum."
Penanganan Korban Banjir Bandang Garut
Penanggulangan bencana saat ini sudah memasuki tahap rekontruksi dan rehabilitasi. Pemerintah Kabupaten Garut mengklasifikasi dampak banjir bandang. Korban meninggal dunia, terbagi menjadi meninggal dan korban hilang. Untuk kerusakan, dibagi menjadi rusak berat, sedang, dan ringan. Sementara status domisili dihitung berdasarkan status kepemilikan rumah, sebagai penyewa atau pemilik.
Bupati Garut Rudy Gunawan mengatakan, berdasarkan Surat Keputusan Bupati jumlah korban banjir bandang mencapai 2.525 orang terbagi dalam 787 Kepala Keluarga. Korban meninggal dunia mencapai 53 orang, di antaranya 18 masih hilang. Sementara kerugian secara material diperkirakan mencapai Rp288 miliar.
"Jadi kami melakukan penanganan korban bajir bandang pada masa rekontruksi dan rehabilitasi ini, mengklasifikasikan korban, agar penanganannya lebih tepat " ujar Rudi saat ditemui di kantornya, Kamis, 20 Oktober 2016.
Untuk korban yang mengungsi hingga saat ini mash terus mengalami perubahan, karena sewaktu-waktu para pengungsi bisa pergi meninggalkan pengungsian.
Pemerintah setempat telah menentukan tujuh lokasi pengungsian, yaitu di Kecamatan Cilawu di Rusunawa Workshop sebanyak 91 Kepala Keluarga. Kemudian di Kecamatan Garut Kota tersebar di Gedung Islamic Centre sebanyak 109 Kepala Keluarga, Gedung Balai Paminton sebanyak 31 Kepala Keluarga, serta Gedung LPSE sebanyak 27 Kepala Keluarga. Lalu di Kecamatan Tarogong Kidul pengungsi ditempatkan di Rusunawa Musadadiyah sebanyak 49 Kepala Keluarga, dan Gedung Transito sebanyak 22 Kepala Keluarga.
"Jadi pengungsi ini akan diberikan Id Card (kartu identitas) sebagai tanda bahwa yang bersangkutan merupakan korban yang diungsikan sesuai dengan SK Bupati," ujarnya menjelaskan.
Dalam rencana relokasi, para pengungsi akan ditempatkan di rumah tapak dan rumah susun yang akan dibangun Pemerintah Kota Garut. Rumah tapak akan menjadi hak milik korban, dengan syarat mereka adalah merupakan pemilik sah rumah yang rusak diterjang bajir bandang. "Kalau rumah susun memang sebagian merupakan korban yang mengontrak atau bukan pemilik sah rumah yang rusak, mereka akan dibebani administrasi untuk pembayaran listrik dan air," ujarnya menambahkan.
Rudy mengamini, bahwa banjir bandang ini terjadi akibat kerusakan lingkungan. Hal ini mengacu pada kondisi di daerah hulu sungai yang berada pada kondisi kritis akibat alih fungsi lahan hutan. Namun hal itu bukan satu-satunya faktor, kondisi ini diperparah dengan curah hujan yang tinggi, sehingga volume air yang datang dari arah hulu sungai tak bisa ditampung.
"Berdasarkan hasil konsultasi dengan BMKG, saat terjadi banjir bandang memang curah hujan sangat tinggi, sehingga hutan yang masih hijau sekalipun tak akan mampu meresap air, apalagi ini hutan di hulu Sungai Cimanuk dalam kondisi kritis," katanya menerangkan.
Menurutnya, daya tampung volume air Sungai Cimanuk saat ini mencapai 740 mililiter per detik. Guna mencegah bahaya banjir bandang di kemudian hari, pihaknya akan menetapkan daerah terlarang di sepanjang sungai dengan menentukan batas bahaya sesuai perhitungan daya tampung volume air, 1.480 mililiter per detik.
Mengenai peringatan dini bencana banjir bandang, Rudy mengatakan, Kabupaten Garut memiliki dua ribu titik bencana untuk diwaspadai. Tak hanya banjir bandang, pihaknya telah mengingatkan warga di 42 kecamatan di kota yang dikenal karena dodolnya ini, agar selalu waspada menghadapi beragam bencana alam. Mulai dari letusan gunung berapi, longsor, gempa bumi, serta angin puting beliung.
"Semua pihak senantiasa harus berhati-hati dan waspada. Pasalnya, di Kabupaten Garut ini terdapat dua ribu titik rawan bencana, atau hampir ada 50 titik rawan bencana di tiap kecamatan, atau 5 titik rawan bencana per desanya," katanya.
Melihat potensi ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Garut kerap menggelar pelatihan dan simulasi bencana alam sebagai bentuk pendidian kepada masyarakat, mengenai antisipasi bencana alam. Selain itu, BPBD juga memetakan titik rawan bencana dan memasang berbagai papan peringatan di lokasi itu, sebagai peringatan untuk warga.
"Namun memang yang jadi permasalahan kami, 30 persen masyarakat terutama di wilayah Selatan Garut, mereka memiliki tempat tinggal di daerah rawan bencana, seperti di bibir tebing atau di bawah perbukitan.”
Meningkatnya Potensi Bencana Banjir dan Longsor di Indonesia
Bencana banjir bandang di Garut merupakan salah satu bencana alam yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan fenomena alam yang terjadi tahun ini dengan menguatnya La Nina, perbedaan suhu permukaan air laut Samudera Hindia di sekitar kawasan pantai barat Sumatera, serta menghangatnya perairan laut Indonesia, membuat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan bencana alam akan meningkat.
Ketiga faktor tadi akan menyebabkan peningkatan curah hujan di Indonesia, sehingga menciptakan anomali cuaca dan membuat musim kemarau basah di Indonesia. Tahun ini saja, sampai Oktober, sudah hampir 1700 kejadian bencana yang terjadi.
“Dengan kondisi-itu maka kejadian bencana di Indonesia semakin meningkat. Selama tahun ini hampir 95 persen bencana yang terjadi itu adalah bencana hedrometrologi atau bencana yang dipengaruhi oleh cuaca seperti banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, cuaca ekstrim, dan lain sebagainya,” ujar Kepala Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho di kantornya, Jakarta, Rabu, 19 Oktober 2016.
Berdasarkan data, terdapat 40,9 juta jiwa di 274 kabupaten/kota yang terancam terdampak bencana banjir dan tanah longsor. Tahun ini dengan adanya La Nina, membuat kerawanan meningkat dibandingkan tahun lalu ketika fenomena El Nino menyerang. Karena, El Nino menyebabkan kemarau berkepanjangan, sehingga bencana yang mengikuti adalah kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan.
Sebagai langkah antisipasi, BNPB berencana mengintensifkan peringatan dini kepada masyarakat, berdasarkan laporan iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, serta data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Kemudian berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga negara terkait, di tingkat nasional hingga ke daerah, untuk melakukan latihan, apel kesiapsiagaan, dan memobilisasi peralatan penanganan bencana ke sejumlah titik rawan musibah.
Tak lupa, Sutopo juga memberikan saran, agar warga yang tinggal di kawasan lereng gunung memperlajari wilayahnya. Jika menemukan retakan tanah, dia meminta warga mengungsi sementara. Begitu juga kepada masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, agar lebih mewaspadai naiknya permukaan air.
BMKG sebagai lembaga yang berwenang memberikan informasi iklim dan cuaca, membenarkan pendapat Sutopo. Menurut Deputi bidang Klimatologi BMKG Mulyono Prabowo, curah hujan akan meningkat karena fenomena La Nina.
Peningkatan curah hujan juga berpotensi menciptakan cuaca ekstrim dan gelombang tinggi. Fenomena ini diperkirakan akan terjadi hingga Februari 2017. “Potensi hujan yang ada, sebagian akan pada intensitas sedang-lebat, pada kondisi tertentu intensitas sedang dan berdurasi panjang,” ujar Mulyono di kantor BMKG, Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2016.
Dia pun mengimbau agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi terjadinya bencana akibat tingginya curah hujan, yaitu banjir dan longsor. Terutama mereka yang tinggal di kawasan yang memiliki kondisi tutupan vegetasi di hulu sungai sudah terbuka. “Perlunya antisipasi munculnya potensi banjir dan longsor, khususnya untuk daerah-daerah dengan topografi dengan kemiringan curam.”
Ancaman Bencana Alam Lain
Di Indonesia, bencana tak hanya banjir dan longsor. Kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang menjadi tempat bertemunya tiga lempeng tektonik besar, yaitu Lempeng Pasifik, Eurasia, dan Indo-Australia, juga membuat gempa bumi jadi ancaman. Apalagi jika kekuatannya lebih dari 7 skala richter, maka ada kemungkinan terjadi tsunami.
Kemudian juga ancaman gunung meletus. Diketahui, Indonesia dilintasi cincin api pasifik atau dikenal sebagai ‘Ring of fire’. “Kita itu ada 127 gunung berapi aktif atau 13 persen dari total gunung berapi di dunia. Seperti, Sinabung masih status Awas, Bromo Siaga, dan lain sebagainya, dan ini bisa terjadi erupsi,” kata Sutopo.
Untuk itu BNPB sudah membuat peta rawan bencana, dengan beragam ancaman yang berpotensi terjadi di wilayah itu. Pada peta ini, BNPB membagi ancaman bencana ke dalam kategori bahaya tinggi, sedang, dan rendah.
Tahun ini, tercatat sudah ada 1.495 bencana, dengan 257 korban meninggal dunia, 303 orang mengalami luka-luka, serta 2,1 juta jiwa terdampak bencana dan sedang mengungsi.
Sutopo menjelaskan, bencana tidak datang tiba-tiba karena selalu ada faktor pemicu. Selain faktor alam, bencana bisa terjadi karena ulah manusia. Seperti terjadinya perubahan iklim global akibat ulah manusia atau yang disebut dengan Antropogenic. Hal ini seperti tindakan merambah kawasan konservasi untuk dijadikan pemukiman penduduk, termasuk di daerah bantaran sungai. Contoh lainnya adalah pembakaran lahan hutan.
Faktor lain bencana yang disebabkan tangan manusia adalah degradasi lingkungan dan tata ruang. Kata Sutopo, hal ini yang memicu terjadinya banjir bandang di Garut. “Itu DAS-nya (Daerah Aliran Sungai) sudah rusak dan kritis karena fluktuasi debit air Sungai Cimanuk itu demikian besar atau meningkat, kemudian erosinya sangat tinggi, kawasan resapan air semakin berkurang, kemudian perumahan dibangun di bantaran sungai, sehingga ketika terjadi hujan lebat ya terjadi bencana dan tidak bisa dihindarkan.”
Faktor lainnya adalah masalah kepemimpinan. Hal ini termasuk lemahnya penegakan hukum sehingga perambahan kawasan hijau terus terjadi. Sebab jika ditilik dari aturan, pemerintah telah menelurkan banyak regulasi untuk menjamin keberlanjutan lingkungan hidup. Persoalannya justru pada implementasi.
Contoh paling nyata mengenai lemahnya implementasi adalah kasus robohnya Jembatan Kuning di Lembongan, Bali. Tiga hari sebelum roboh, sudah ada petugas yang menginspeksi, dan menyatakan jembatan dalam kondisi kritis sehingga tak layak digunakan untuk penyeberangan. Kenyataanya, walau rambu peringatan mengenai kondisi kritis itu sudah dipasang, tetap saja masyarakat menggunakan jembatan untuk menyeberang. “300 orang secara bersamaan dan 17 motor melewati secara bersamaan, ya ambruk lah,” ucap Sutopo.
Antisipasi Pemerintah
Banyaknya potensi bencana yang mengancam ini sudah diantisipasi pemerintah. Tahun ini, pemerintah awalnya menganggarkan dana Rp306 miliar pada Kementerian Sosial untuk penanganan korban bencana. Namun jumlah ini dipangkas Rp95 miliar karena kondisi keuangan sedang sulit sehingga hanya menjadi Rp211 milyar. “Dan yang sudah terpakai Rp195 miliar,” ujar Adhy Karyono, Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam Kementerian Sosial, di ruang kerjanya, Jakarta, Jumat, 21 Oktober 2016.
Menurut Adhy, fenomena La Nina tahun ini memaksa pemerintah menggunakan banyak anggaran. Total ada 1,112 juta warga terdampak bencana yang sudah ditangani menggunakan dana itu. Di antara mereka, ada keluarga 200 korban meninggal dunia yang mendapatkan santunan. Padahal, bencana diprediksi akan terus meningkat ke depannya, sehingga ada kemungkinan dana tersisa tak mencukupi.
Selama penanganan bencana, Kementerian Sosial wajib memenuhi kebutuhan dasar untuk korban bencana, seperti menyediakan logistik, penampungan, dan perlindungan pada pengungsi. Setelah bencana selesai, mereka juga harus mendukung korban bencana dengan psikososial dan jaminan hidup, serta memindahkan lokasi tempat tinggal sehingga mereka bisa hidup normal kembali.
“Makanya banyak jadi masalah ketika kita menyelesaikan rumah untuk hunian tetap, yang mana dananya sangat tinggi. Itu paling sulit,” ujarnya menjelaskan.
Pembangunan hunian ini diperlukan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi, seperti yang diberikan pada korban bencana di Garut, dan juga longsor di Sumedang. Kemudian relokasi warga terdampak bencana erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara, lalu korban banjir bandang di Sangihe, Manado, Sulawesi Utara.
Namun, antisipasi pemerintah ini bagi Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yaya Nur Hidayati, masih kurang. Dia menilai, peristiwa longsor dan banjir sebagai bencana ekologis, yang seharusnya bisa dicegah. Sebab, bencana ekologis di mata Yaya terjadi akibat perbuatan manusia mengeksploitasi sumber daya alam dan pembangunan. Hal ini berakibat pada rusaknya lingkungan dan memperbesar potensi terjadinya banjir dan longsor.
Berangkat dari pendapat itu, dia mendorong pemerintah supaya lebih perhatian dalam memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Cara ini menjadi solusi dalam memperkecil potensi terjadinya banjir dan longsor. “Harus ada upaya yang lebih mendasar untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup,” ucapnya di kantor Walhi, Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2016.
Menurut dia, melihat pada bencana yang terus berulang setiap tahun, Yaya menyimpulkan adanya pengabaian dari pemerintah untuk melindungi masyarakat dari korban bencana. Indikasinya adalah tingkat korban meninggal yang tinggi setiap terjadi bencana, sehingga menunjukkan kurangnya kewaspadaan masyarakat, termasuk juga antisipasi pemerintah untuk mengurangi potensi bencana.
“Artinya adalah, pertama pemerintah itu tidak, entah tidak menyadari atau tidak peduli, bahwa negara kita itu sudah berada dalam keadaan rawan bencana ekologis yang sangat parah, ratusan orang setiap tahun itu menjadi korban bencana ekologis di seluruh Indonesia.”
Diaberharap sistem peringatan dini bisa diterapkan pada bencana banjir dan longsor, seperti halnya erupsi pada gunung berapi. Sehingga, ketika ada potensi curah hujan tinggi, maka warga diberikan peringatan mulai dari normal, waspada, siaga, dan awas.(mus)