Terdakwa Budi Galau Dengar Tuntutan 9 Tahun Jaksa KPK

Anggota DPR dari Fraksi Golkar, Budi Supriyanto (tengah), memakai rompi tahanan KPK seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (15/3).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA.co.id – Mantan anggota Komisi V DPR RI, Budi Supriyanto, menilai tuntutan sembilan tahun penjara yang dilayangkan Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi terhadapnya, tidak adil. 

Sebab dia mengklaim diri bukan inisiator suap program aspirasi yang direalisasikan untuk proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara. Budi memandang justru koleganya Damayanti Wisnu Putranti yang seharusnya dituntut lebih berat, karena dia merupakan orang yang membujuknya untuk melimpahkan program aspirasi ke dua daerah tersebut. 

"Sejujurnya saya sangat tersentak setelah mendengarkan tuntutan jaksa, Yang Mulia. Pikiran saya galau. Kesehatan saya pun menurun," kata Budi saat membacakan pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Kamis, 3 November 2016.

Oleh Jaksa Penuntut KPK, Budi didakwa menerima SGD305 ribu dari pengusaha Abdul Khoir melalui Damayanti, karena sudah memberi program aspirasinya untuk perbaikan jalan di Maluku dan Maluku Utara. Menurut Kader Partai Golkar itu, jumlah uang yang dia terima terbilang kecil dan sudah dikembalikan kepada KPK pada 1 Februari 2016.

Budi menceritakan awal mengenal Damayanti pada September 2015 lalu yang dijembatani oleh anggota DPR Amaluddin. Ketika itu dia baru pindah dari Komisi VII ke Komisi V. 

Beberapa waktu kemudian Budi dikenalkan lagi oleh Damayanti kepada Julia dan Desy. Dua nama terakhir adalah staf Damayanti. Namun, Budi tidak menyebut lokasi pertemuan itu. Dia mengaku pada pertemuan itu Damayanti menyinggung soal program aspirasi. 

"Setelah itu saya menanggapi tentang keinginan untuk membantu asrama anak saya di Maluku Utara yang jalan asramanya rusak. Dia sebelumnya juga pernah bercerita membantu pengaspalan jalan asrama di Papua, makanya saya minta caranya ke Damayanti supaya bisa membantu asrama anak saya itu," kata Budi.

Setelah pertemuan tersebut, Budi bilang belum ada kesepakatan apapun. Selang beberapa hari kemudian,  dia diminta Damayanti datang ke Hotel Ambara. Di sana, ternyata sudah ada Alamuddin, Fatan, dan Kepala BPJN IX, Amran Hi Mustari. 

"Dalam pertemuan itu Damayanti menyampaikan ke saya, Mas Budi kalau ada program aspirasi taruh saja di tempat Pak Amran, BPJN IX Maluku dan Malut. Lalu saya jawab, monggo saja Mbak. Jawaban itu saya sampaikan karena saya orang baru di Komisi V yang belum tahu seluk beluk Komisi V secara detail," kata Budi. 

Budi menyebut Damayanti adalah orang paling aktif untuk menyelenggarakan pertemuan di Hotel Ambara saat itu. Terlebih Damayanti sempat melakukan kunjungan kerja ke Maluku dan bertemu dengan pengusaha Abdul Khoir sebelumnya.

"Karenanya Yang Mulia, peran dan uang kontribusi saya sebagai pelaku di sini sangat kecil, bahkan jika tidak ingin dibilang nihil. Tapi terasa hitam putih ada ketidakadilan. Saya berharap ada keadilan dan cahaya yang terpancar yang berasal dari pengadilan yang mulia ini, sebagaimana keadilan yang kita dambakan oleh seluruh bangsa ini," ucap  Budi.

Untuk diketahui, Damayanti pada perkara ini dianggap menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. Sehingga, dia dituntut 6 tahun penjara dan akhirnya dijatuhi hukuman 4,5 tahun bui.