Usut Kasus Korupsi DKI, KPK Telisik Semua Diskresi Ahok

Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki T Purnama alias Ahok.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menjelaskan, pihaknya tidak hanya membahas soal pembelian lahan RS Sumber Waras, namun bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga akan menelisik pembelian tanah di Cengkareng, serta lahan lainnya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Jadi kami pengen gali itu. Kemudian kami ingin menggali informasi dari mereka (BPK) juga soal proyek-proyek off-budget," kata Agus di kantornya, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 6 November 2016.

Untuk diketahui, pada November 2015, Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI membeli lahan seluas 4,6 hektare dengan harga Rp648 miliar. Lahan ini dibeli dari seorang warga bernama Toety Noezlar Soekarno dengan kuasa hukum Rudy Hartono Iskandar.

Belakangan, lahan tersebut ternyata juga tercatat sebagai aset Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan (DKPKP) Pemprov DKI Jakarta. Artinya, Pemprov DKI membeli lahannya sendiri.

Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri akhirnya menangani kasus itu. Status kasus ini pun sudah masuk penyidikan. Namun, belum ada tersangka. Sedikitnya 15 saksi sudah diperiksa. Termasuk, Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tanggal 14 Juli 2016 lalu.

Ahok mengaku memberi disposisi pembelian lahan seluas 4,6 hektare di Cengkareng Barat itu. Namun eks Bupati Belitung Timur itu berdalih tak tahu lahan ini bermasalah dan merupakan aset Dinas KPKP DKI.

Seiring penyidikan dan persidangan perkara dugaan suap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah terkait Teluk Jakarta, terungkap, bahwa Ahok sering menggunakan diskresi agar para pengembang membayar kontribusi tambahan.

Dari sana pula terkuak banyak pengerjaan proyek seperti program normalisasi Kali Ciliwung, pengerukan Waduk di Pluit, pembelian tanah dan pembangunan Rusunawa di Daan Mogot, Jakarta Barat serta Muara Baru, Jakarta Utara oleh Pemprov DKI berasal dari dana kontribusi tambahan para pengembang di DKI Jakarta.

Namun, dana-dana untuk itu semua tidak masuk lebih dahulu ke dalam APBD. "Iya, jadi kan katanya itu enggak masuk APBD. Kalau di aturan pembendaharaan keuangan itu kan enggak boleh. Itu yang akan kami teliti. Menjadi boleh kalau kondisinya darurat, pertanggungjawaban itu kan masuk di APBD atau APBD-P. Kemudian nanti masuk menjadi aset. Itu boleh. Nah kami akan teliti semua ini," kata Agus. 

(mus)