Mantan Atase Imigrasi KBRI Malaysia Didakwa Terima Suap
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA.co.id – Mantan Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Malaysia, Dwi Widodo didakwa Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menerima suap senilai Rp524,35 juta dan RM 63.500 terkait pengurusan paspor dengan metode reach out dan penerbitan calling visa.
Selain itu, Jaksa KPK juga menyebut Dwi menerima suap berupa voucher hotel senilai Rp10,8 juta.
"Terdakwa menerima hadiah sebagai imbalan atau fee pengurusan paspor dan calling visa," kata Jaksa Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat 11 Agustus 2017.
Jaksa Wawan menuturkan, Dwi menerima suap dari delapan perusahaan yakni PT Anas Piliang Jaya, PT Semangat Jaya Baru, PT Trisula Mitra Sejahtera, PT Sandugu International, PT Rasulindo, PT Atrinco Mulia Sejati, PT Afindo Prima Utama, dan PT Alif Asia Africa.
Penerimaan suap itu, kata jaksa, berawal dari Pemilik PT Anas Piliang, Nazwir Anas, yang meminta bantuan pada Dwi untuk menerbitkan calling visa untuk kliennya yang berasal dari sejumlah negara di Afrika.
Penerbitan calling visa ini termasuk ilegal karena tidak diatur dalam UU dan melibatkan agen perorangan atau calo. Namun Dwi tetap menyanggupi permintaan Nazwir, dengan imbalan fee Rp73,5 juta untuk 143 permohonan calling visa
"Permintaan serupa juga dilakukan oleh tujuh perusahaan lainnya dengan imbalan sebesar US$100 sampai US$200 untuk setiap calling visa yang diterbitkan," kata Jaksa Wawan.
Sementara mengenai pengurusan paspor dengan metode reach out muncul atas permintaan mantan rekan kerjanya di KBRI Malaysia, Satya Rajasa, untuk pembuatan paspor Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dwi menyanggupi dengan syarat pemohon paspor minimal 50 sampai 200 orang per hari menggunakan perusahaan Malaysia.
"Atas pengurusan paspor itu, terdakwa meminta imbalan pada Satya Rajasa," kata Jaksa Wawan.
Uang yang diterima Dwi kemudian dibagikan kepada 82 orang staf KBRI Malaysia sebagai Tunjangan Hari Raya.
Atas perbuatannya, Dwi dijerat dengan Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Jo. Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Merespon dakwaan KPK, Dwi mengaku tak mengajukan eksepsi atau nota keberatan. Sehingga pada pekan depan sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.