Sejumlah Menteri Jokowi Dianggap Tutupi Pelanggaran HAM 1965

Ilustrasi/Perjuangan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sumber :
  • Antara/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Amnesty International Indonesia menganggap, pemerintahan Presiden Joko Widodo terkesan malas mengungkap kebenaran atas persoalan kasus hak asasi manusia pada tahun 1965.

Sejak Jokowi dilantik, gelagat itu terlihat ketika masih banyak para pembantu Presiden menutupi kasus itu sehingga penyelesaiannya tak pernah tuntas hingga kini.

"Ada sejumlah pejabat pemerintah yang terkesan menutupi segala usaha untuk mengungkap peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM di masa lampau khususnya 1965-1966," kata Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, saat konferensi pers di Jakarta pada Jumat, 20 Oktober 2017.

Seharusnya, kata Usman, pemerintah membaca lagi Ketetapan (TAP) MPR Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Salah satu ketetapan itu meminta pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tentang penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi pada masa lampau.

"Itu masih berlaku memandatkan pemerintah untuk mengoreksi penyelewengan ABRI di masa lampau dengan menyelesaikan kasus-kasus HAM melalui pengungkapan kebenaran, permintaan maaf, permohonan maaf, amnesti, dan penegakan hukum," katanya.

Usman pun mempertanyakan realisasi janji Nawacita yang dicanangkan Jokowi ketika berkampanye sebagai calon presiden. Kala itu, Jokowi berjanji kepada publik untuk menuntuskan pelanggaran HAM jika dia terpilih. 

Berkaca dari sebelumnya, niat Jokowi ingin menuntaskan kejahatan masa lampau terlihat dari keinginannya menempuh jalur ekstra yudisial melalui proses pegungkapan kebenaran maupun rekonsiliasi.

Hal itu ditunjukkan di tahun 2015 ketika Jokowi mencabut Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlihat G30S/PKI Golongan C dan menyetujui acara simposium tentang peristiwa 65 dengan melibatkan penyintas.

Namun belakangan, ia menyesalkan sikap Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, yang menyatakan kesulitan untuk membuktikan kejahatan masa lalu karena terkendala alat bukti dan kesaksian. "Nah, kendalanya justru datang dari pejabat pemerintah di bawah Presiden," kata Usman. (mus)