Jokowi dan Prabowo Dianggap Sama-sama Berjurus 'Propaganda ala Rusia'

Debat Pertama Capres-Cawapres Pemilu 2019, Joko Widodo-Prabowo Subianto.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

Pengamat politik menyebut kedua kubu calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sama-sama memakai strategi "propaganda ala Rusia".

Aditya Perdana, pengamat dari Universitas Indonesia mengatakan pola ini terlihat dari saling serang yang menggunakan isu populis, bukan program serta hoaks.

Menurut Aditya, model kampanye semacam ini pernah dilakukan Presiden AS Donald Trump dengan cara menyerang lawannya dengan isu-isu dan menggiring para pemilih pada tema seputar nasionalisme.

"Itu kan cara atau strategi. Contohnya antek asing. Kalau kampanye Trump saat pemilihan kan mempertanyakan apakah Anda punya nasionalisme atau tidak? Diukur dari situ, `ikut saya atau yang lain`," ujar Aditya kepada BBC News Indonesia, Selasa (05/02).

"Jadi nampaknya yang sedang dibangun isu populisme, bukan programatik. Memang mudah sekali isu seperti itu terangkat karena dekat dengan pemilih kan, apalagi soal identitas," sambungnya.

Ia menduga pernyataan Jokowi saat deklarasi di Surabaya pada Sabtu (02/02) lalu sebagai bentuk serangan balasan kepada kubu lawan karena kerap mengangkat tuduhan antek asing.

Namun demikian, sindiran yang dilontarkan kubu Jokowi-Ma`ruf Amin kepada lawannya Prabowo-Sanidaga, hanya akan merugikan pihaknya.

Sebagai petahana, menurutnya, Jokowi harus bersikap hati-hati dengan tidak mengumbar perkataan kontroversial namun menyampaikan program-program dan capaian-capaiannya.

"Orang-orang yang tadinya sudah yakin kepada Jokowi, bisa saja berubah. Semisal pendukung yang masih setengah hati ini, kecenderungan bergeser pilihannya ada karena melihat sikap Jokowi," imbuhnya.

"Jadi kalau kubu penantang bilang selisih antara Prabowo dan Jokowi makin tipis, bisa saja kalau begini terus," sambungnya.

Pernyataan "propaganda Rusia" itu bermula ketika Jokowi menghadiri deklarasi dukungan di Kantor Redaksi Jawa Pos, Surabaya.

"Cara-cara politik seperti ini harus diakhiri, menyampaikan semburan dusta, semburan fitnah, semburan hoaks, teori propaganda Rusia yang kalau nanti tidak benar, lalu minta maaf. Akan tetapi, besoknya keluar lagi pernyataan seperti itu, lalu minta maaf lagi," kata Jokowi.

Tapi belakangan Kedubes Rusia di Jakarta melalui akun Twitternya menyatakan pemerintah Rusia tidak pernah ikut campur soal urusan dalam negeri maupun proses elektoral di negara lain termasuk Indonesia.

"Sebagaimana diketahui istilah "propaganda Rusia" direkayasa pada tahun 2016 di Amerika Serikat dalam rangka kampanye pemilu presiden. Istilah ini sama sekali tidak berdasarkan pada realitas," demikian pernyataan Kedubes Rusia melalui akun Twitter resmi mereka, Senin (04/02)).

Aditya juga mengatakan psywar atau perang urat syaraf yang dilakukan kedua kubu, tidak akan efektif memengaruhi pemilih muda. Ini karena informasi yang mereka miliki lebih banyak ketimbang menelan mentah-mentah pernyataan yang diembuskan masing-masing calon.

Pendapat serupa juga disampaikan Peneliti dari Lembaga Survei Indikator Politik, Adam Kamil.

Dia mengatakan, publik cenderung tidak tertarik dengan berita-berita politik yang bertebaran di media sosial. Bahkan, sikap saling sindir sama sekali tidak berpengaruh terhadap elektabilitas maupun popularitas para calon.

"Tidak pengaruh, karena itu dianggap hal biasa dalam kontestasi politik," ujar Adam Kamil.

Pemilih, kata dia, justru lebih terpikat ketika debat berlangsung. Di situlah, para swing voters atau pemilih mengambang yang jumlahnya 10% ini akan menentukan pilihannya.

"Debat kan masih empat kali lagi, nanti bisa terlihatlah. Karena debat itu kan ditonton banyak orang."

Dalam survei Lembaga Survei Indikator, elektabilitas pasangan Jokowi-Ma`ruf Amin 54?n pasangan Prabowo-Sandiaga 34%. Namun demikian, kubu oposisi mengklaim memiliki survei internal yang menyatakan hitungan berbeda.

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, menyebut selisih elektabilitas antara Jokowi dan Prabowo hanya empat persen. Yakni Jokowi-Ma`ruf Amin 47?n Prabowo-Sandiaga 43%.

Selisih tipis itulah, menurut Andre, yang membuat Jokowi tertekan sehingga melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Ia pun membantah kubunya menggunakan konsultan asing demi memenangkan pemilihan presiden April mendatang.

"Jadi sikap itu adalah kekhawatiran berlebihan, sehingga Jokowi menimbulkan kegaduhan dengan pernyataan hoaks yang menuduh kami melakukan propaganda ala Rusia atau menggunakan konsultan asing," imbuhnya.

Dia bahkan menantang Jokowi agar melaporkan anggota BPN Prabowo-Sandiaga ke Kepolisian jika terbukti memfitnah. "Kalau ada tim sukses kami yang fitnah Jokowi, tangkap saja. Jangan menimbulkan kegaduhan."

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma`ruf Amin, Irma Suryani Chaniago, menyebut "propaganda Rusia" yang dimaksud Jokowi mengarah kepada Operasi Semburan Fitnah (Firehose of Falsehood).

Operasi ini digunakan Rusia antara tahun 2012-2017 dalam krisis Crimea, konflik Ukraina, dan perang saudara di Suriah. Caranya dengan terus menerus memunculkan isu-isu negatif.

Belakangan strategi semacam itu, kata Irma, digunakan ketika pemilihan presiden AS tahun 2016, dalam pertarungan antara Donald Trump melawan Hillary Clinton.

"Secara kasat mata, kita lihat sekarang kan? Hari ini begitu banyak ujaran kebencian, fitnah, hoaks. Itu semua dijalankan dengan gencar. Jadi itu yang dimaksud dengan propaganda Rusia," jelas Irma Suryani Chaniago kepada BBC News Indonesia.

Irma lantas mencontohkan strategi "propaganda Rusia" yang menerpa Jokowi, melalui tudingan antek asing ketika pemerintah menggunakan utang luar negeri untuk membangun jalan.

"Jalan tol dibilang bisa tidak pakai utang. Lho dia (Sandiaga) aja bangun Cipali pakai utang kok. Gimana mau bilang bangun jalan tol enggak pakai utang?" imbuhnya.

Itu mengapa pihaknya mencurigai kubu lawan menggunakan konsultan yang sama dengan yang dipakai Donald Trump.

"Kita curigai ada konsultan asing yang dipakai oleh mereka yang kemudian memporak-porandakan kesatuan bangsa dengan haoks, fitnah tadi. Itu makanya kami bilang cukup. Enggak cocok kampanye ala Trump dipakai di Indonesia," tambahnya.

Tim Kampanye Nasional pun, kata dia, tidak khawatir aksi saling melontarkan sindiran ini akan berpengaruh kepada suara pendukungnya. Justru, dengan cara ini mereka ingin mempertahankan para pemilihnya yang masih ragu-ragu.

Irma mengatakan dengan alasan itu, pihaknya menerapkan strategi kombinasi antara penyampaikan peringatan, klarifikasi, dan program.

Namun ia mengakui porsi penyampaikan program masih minim.

"Yang namanya hoaks merajalela. Berita bohong lebih disukai karena membuat masyarakat terprovokasi. Tidak semua orang bisa diyakinkan dengan penyampaikan program saja," imbuhnya.

"Ke depan Jokowi ingin fokus di sumber daya manusia. Jadi mereka itu bisa ikut magang di perusahaan-perusahaan besar selama setahun lalu dapat sertifikat dan bisa bersaing di pasar kerja internasional," kata Irma terkait program yang akan diterapkan bila terpilih lagi.

Namun pengamat politik Aditya Perdana mengatakan saling serang pernyataan antara Jokowi-Ma`ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga tidak akan berhenti.

"Ya saya bisa pahami, bisa jadi kekhawatiran yang disampaikan pihak oposisi benar. Tapi bisa jadi ini adalah gaya yang disampaikan Jokowi bahwa dia selama ini dalam posisi yang selalu mengalah. Sehingga ini saatnya untuk melawan balik," ujar Aditya.

Meski demikian, ia mengingatkan kubu Jokowi agar tidak terlena bertarung dan melupakan para pemilih yang masih mengambang.

"Mereka yang belum punya pilihan ini juga penting untuk didengarkan dan jadi warning bagi kedua calon. Karena Jokowi dan Prabowo ini bukan lagi bertarung untuk hal substansif tapi hal-hal remeh temeh."

"Dan kita yang memperhatikan bosan saja, enggak bisa dong terus-terusan begini."