Dukungan Purnawirawan TNI ke Jokowi dan Prabowo: Apakah Berdampak?

Para purnawirawan TNI dalam suatu pertemuan di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Pengamat militer dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan dukungan purnawirawan TNI ke kedua kubu pasangan calon tidak akan berdampak terlalu signifikan untuk mendulang suara, karena hanya akan berpengaruh positif pada persepsi publik.

Khairul merespons deklarasi dukungan purnawirawan TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara pada Jokowi dan KH Ma`ruf Amin pada Pilpres 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat (10/02).

Deklarasi yang diikuti sekitar 1.000 purnawirawan itu dihadiri oleh antara lain Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Letjen TNI (Purn) Suaidi Marasabessy, Jenderal (TNI) Subagyo HS dan Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh.

Namun, bukan hanya kubu Jokowi yang didukung oleh para purnawirawan. Kubu Prabowo juga didukung oleh sejumlah purnawirawan TNI, seperti Jenderal (Purn) Djoko Santoso, Laksamana TNI (purn) Tedjo Edhy Purdijatno, dan Letjen (Purn) Yunus Yosfiah.

Khairul mengatakan dukungan para purnawirawan tersebut tidak akan berpengaruh signifikan untuk mendongkrak suara karena hanya menguntungkan dari segi persepsi publik.

"Secara pendekatan suara di lingkungan keluarga besar TNI, tidak terlalu besar dampaknya. Masih banyak instrumen-instrumen lain yang harus dilihat. Tapi, dalam hal membentuk persepsi publik, siapa yang lebih didukung oleh purnawirawan memang perlu dikelola isunya," kata Khairul.

Persepsi publik yang positif, kata Khairul, bisa saja mengerek perolehan suara salah satu pasangan calon presiden.

Sementara itu, dosen Hukum Internasional UI, Broto Wardoyo, yang juga penulis buku Satu Dekade Reformasi Militer Indonesia , mengatakan suara purnawirawan masih diperhitungkan kedua kubu karena mereka yakin dukungan tersebut akan berdampak positif di pilpres.

"Ada keyakinan kalau misalnya purnawirawan mendukung, diharapkan yang di bawah-bawahnya, adik-adiknya (mantan anak buah mereka) mendukung. Padahal enggak selalu begitu. Sejauh ini enggak ada riset clear yang menunjukkan hal itu," kata Broto.

Sasar relasi dan keluarga TNI aktif

Meski dinilai tidak signifikan, koordinator deklarasi dukungan ke kubu Jokowi-Ma`ruf, Laksamana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul, mengatakan para purnawirawan akan bergerak aktif dalam menyasar koneksi-koneksi mereka dan meyakinkan mereka untuk memilih Jokowi dan Ma`ruf.

"Waktu saya menjabat sebagai Kapuspen TNI, jaringan saya itu mulai dari Mabes TNI sampai ke Sabang - Merauke. Ini baru sekelas Kapuspen TNI. Bagaimana kalau sekelas Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara? Bisa dibayangkan relasi, teman-teman, dan mantan anak buah mereka yang sudah pensiun," kata Iskandar.

"Inilah model yang akan kita kerjakan. Kita bukan berhenti di 1.000 purnawirawan. Kita sudah berjalan contohnya (purnawirawan) Angkatan Laut sudah membuat Paguyuban Jala Nusantara yang bergerak di Jakarta, Surabaya, dan Manado. Angkatan Udara membuat paguyuban Elang 1. Ini bergerak semua," kata Iskandar.

Ia menambahkan, para purnawirawan juga akan berusaha meraup suara dari keluarga para anggota TNI aktif.

"Tentara netral tidak boleh ikut-ikutan (pilpres), itu ada undang-undangnya. Tapi istri dan anak-anak (mereka) kan boleh (memilih)? Seorang prajurit akan lihat kepemimpinan kita di masa itu. Kalau kepemimpinan kita bagus, dia akan ikut kita," kata Iskandar.

Saling klaim dapat dukungan purnawirawan

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Penasehat BPN Prabowo-Sandiaga, Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdjiatno, menyatakan kubu Prabowo tidak mempermasalahkan dukungan purnawirawan pada kubu Jokowi.

Tedjo mengatakan, pekan lalu, sekitar 2.500 purnawirawan sudah menyatakan dukungan mereka ke kubu Prabowo di kediaman Prabowo di Hambalang, Jawa Barat.

Pekan depan, lanjutnya, Prabowo dan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga akan bertemu dengan sekitar 1.000 orang purnawirawan TNI di Yogyakarta.

Namun, kata Tedjo, acara itu bukanlah acara deklarasi dukungan, tapi diskusi buku yang ditulis Prabowo dan SBY.

"Kalau nanti di acara itu ada yang mendukung, itu urusan belakangan," katanya.

Tedjo mengakui jumlah purnawirawan memang tidak signifikan untuk memenangkan pasangan calon.

"Purnawirawan memang enggak banyak, tapi dia punya istri, cucu, pembantu, tetangga, jadi jumlahnya (yang bisa dipengaruhi untuk memilih salah satu pasangan calon) banyak juga," kata Tedjo.

`Waspadai kembalinya militerisme`

Pengamat militer dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai dukungan purnawirawan ke kedua kubu sebagai "pembelahan diri" di tubuh militer

"Saya meragukan dukungan ini, baik ke Paslon no. 1 atau no. 2 sebagai bentuk keberpihakan total. Justru saya lihat ada hidden agenda , saya memaknai terbelahnya dukungan bukan sebagai perpecahan atau friksi di kalahan purnawiraan, tapi ini semacam pembelahan diri agar siapa pun yang menang nantinya, tetap ada yang bisa memastikan rezim nantinya tidak akan merugikan kepentingan militer," kata Khairul.

Saat ini, lanjutnya, militer telah dilibatkan secara masif dalam sejumlah kegiatan yang sebenarnya tidak sesuai dengan fungsinya. Contohnya, kata Khairul, dalam pembangunan infrastruktur di Papua dan beberapa daerah konflik.

Ia mengatakan, purnawirawan dalam hal ini berperan sebagai perpanjangan tangan para anggota militer aktif yang ingin ikut serta dalam kegiatan politik. Sehingga, lanjutnya, siapa pun yang terpilih akan mampu mengakomodir kepentingan militer.

Maka itu, Khairul mengatakan, kedua kubu pasangan calon harus menyikapi dukungan purnawirawan ini secara cermat karena hal itu berpotensi membawa kembali praktik militerisme di Indonesia.

"Saya ingin mengingatkan pada paslon, tim pemenangan, jelas ada hidden agenda yang memang perlu diwaspadai, dicermati, disikapi hati-hati supaya kita tidak membawa negara bergerak mundur, mengingkari semangat reformasi yang kita jaga dan jalani selama 20 tahun terakhir ini," katanya.

Tentang kekhawatiran kemunculan kembali militer di dunia politik, sudah berulangkali ditepis oleh pimpinan TNI.

Terakhir, saat muncul wacana dianggap dapat mengulang rekam jejak dwifungsi ABRI yang dianggap militeristik oleh pegiat demokrasi, ditepis oleh juru bicara TNI, Brigjen Sisriadi.

"Ada kementerian tertentu yang menggunakan tenaga perwira TNI, mereka keuntungannya, yaitu militansi, tapi bukan militerisme," kata Sisriadi.

"Dwifungsi menempatkan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia - sebutan TNI saat itu) sebagai kekuatan pertahanan, sosial, dan politik. Tapi politik sudah kami hindari sejak reformasi. Mencium bau politik saja kami sudah sakit gigi," ucapnya.