'Teror' ke Pegiat Antikorupsi Giring Opini Publik soal Revisi UU KPK

- BBC
Sumber :
  • bbc

Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) telah disahkan meski mendapat penentangan dari sebagian kalangan masyarakat.

Sejumlah pegiat antikorupsi dan analis menemukan adanya kampanye siber yang diduga bertujuan menggiring masyarakat untuk menerima beleid atau aturan tersebut.

Wijayanto mempertimbangkan untuk mengganti nomor ponselnya karena curiga bahwa nomor yang sekarang telah diretas.

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah itu mengatakan bahwa dirinya dan orang-orang terdekatnya mendapat "teror" lewat panggilan telepon sejak bergabung dengan grup WhatsApp yang menentang revisi undang-undang KPK.

Kepada BBC News Indonesia, Wija - begitu ia akrab dipanggil - bercerita bahwa sekitar dua pekan lalu ia mulai menerima panggilan telepon dari nomor-nomor tak dikenal.

Semua nomor tersebut berasal dari luar negeri. Ketika diangkat, yang terdengar hanya hening. "Nggak ada yang ngomong di sana," ujarnya pada Kamis (19/09).

Wija kemudian mengecek grup WhatsApp Aliansi Akademisi Antikorupsi Indonesia yang beranggotakan dosen-dosen dari berbagai universitas, dan mendapati bahwa banyak rekan-rekannya mengalami hal yang sama.

"Banyak laporan dari teman yang lain, screenshot yang isinya bahwa mereka juga menerima telepon dari nomor asing dari berbagai negara," kata Wija. "Jadi saya tidak sendirian."

Imbas dari panggilan telepon misterius itu, ia melanjutkan, satu per satu rekannya meninggalkan grup tersebut. Mereka tidak hanya ogah ditelepon nomor asing, tapi juga takut akun WhatsApp mereka diretas.

Pasalnya, sehari sebelumnya, salah seorang koordinator grup, Rimawan Pradipto, yang merupakan dosen Universitas Gadjah Mada, jadi sasaran peretasan. Ia yang selalu menunjukkan sikap anti revisi UU KPK tiba-tiba mengirimkan pesan-pesan pro-revisi lewat jaringan pribadi (japri).

"Dan kemudian ia memberi klarifikasi bahwa akun dia di- hack ," kata Wija.

Setelah keluar dari grup Aliansi Akademisi Antikorupsi Indonesia, Wija mendapati bahwa dirinya dimasukkan ke dalam grup lain bernama sama. Tapi grup tersebut dibentuk oleh orang yang tidak ia kenal. "Akhirnya, semua grup yang seperti itu saya tolak, saya left ."

Panggilan telepon dari nomor-nomor asing pun berhenti, tapi Wija belum bisa merasa lega karena tak lama kemudian, salah seorang mahasiswa di grup WhatsApp kelas yang ia bimbing juga diteror oleh nomor-nomor asing. Padahal, kata Wija, mahasiswa ini tidak pernah mencantumkan nomornya secara publik.

"Mahasiswa ini pernah hadir dalam press release , ketika Undip menyatakan sikap antirevisi. Dia juga pernah hadir dalam demo, tapi tidak mencantumkan nomornya secara publik, misalnya sebagai koordinator demo atau dalam press release .

"Jadi kan dugaan saya adalah orang itu tahu nomor mahasiswa saya karena dia mengintip pakai nomor saya itu, untuk melihat siapa saja itu yang perlu diteror," tutur Wija.

Tak hanya itu, Wija mengatakan bahwa beberapa menit sebelum wawancara lewat telepon dengan BBC, aplikasi WhatsApp di ponselnya tiba-tiba error . Semua chat terbaru dalam tiga hari terakhir hilang. Ia menyebut kejanggalan ini juga terjadi beberapa hari yang lalu.

Wija mengatakan kejadian ini telah membuat dirinya dan kawan-kawannya merasa waswas dan tidak aman. Ia menceritakan bagaimana seorang rekannya sesama dosen, yang tidak ia sebutkan namanya, merasa curiga ketika ada mobil berwarna hitam berhenti di depan rumahnya karena ia merasa diawasi.

"Nah saya nggak sampai merasa dibuntuti orang ya, cuma saya merasa bahwa ini nomor saya ini tidak aman," ujarnya.

Wija percaya bahwa apa yang dialami dirinya dan kawan-kawannya merupakan bagian dari upaya terorganisasi untuk membungkam suara yang menentang revisi UU KPK, serta menggiring opini masyarakat untuk menerima langkah DPR dan pemerintah tersebut.

Analis media sosial, Ismail Fahmi, menemukan upaya yang kedua terjadi di dunia maya, terutama di Twitter.

Perang tagar

Dengan program buatannya, Drone Emprit, Ismail menemukan sebuah kampanye di Twitter yang bertujuan membuat masyarakat meragukan KPK dan berpikir bahwa revisi UU KPK dan para pimpinan yang baru terpilih sebenarnya baik bagi lembaga antirasuah itu.

Goal utamanya adalah memuluskan revisi UU KPK, kemudian Capim (calon pimpinan) yang baru pun bisa diterima," kata Ismail, Kamis (19/09). "Untuk seperti itu, pintu masuknya adalah pelemahan dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat [terhadap KPK] selama ini sangat kuat."

Menurut Ismail, kampanye tersebut dilancarkan secara "terkoordinir dan sistematis" melalui tagar-tagar dan meme-meme yang disebarkan oleh sejumlah akun yang dijalankan manusia maupun robot.

Associate Researcher di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu menjelaskan, akun-akun tersebut awalnya menebarkan isu adanya `taliban` di KPK.

Istilah `taliban` mengacu pada beberapa pegawai yang dipersepsikan sebagai kelompok Islam garis keras – diidentifikasi dari janggut, celana cingkrang, dan warna hitam di dahinya – di antara mereka penyidik KPK Novel Baswedan dan ketua wadah pegawai KPK, Yudi Purnomo.

Isu ini, menurut Ismail, membangun persepsi bahwa KPK perlu dibersihkan. "Dan ini sangat efektif, karena dengan ada isu ini publik menjadi ragu-ragu untuk mendukung KPK," ujarnya.

Isu `taliban` tersebut kemudian dibantu dengan tagar-tagar yang mendukung revisi UU KPK. Drone Emprit mengidentifikasi sejumlah tagar pro-revisi, antara lain #KPKKuatkorupsiturun, #KPKCengeng, #KPKLebihBaik, dan #DukungRevisiUUKPK.

Salah satu cara menyebarkan tagar-tagar tersebut adalah dengan memanfaatkan strategi pemasaran yang kerap digunakan perusahan-perusahaan di media sosial yaitu Giveaway.

Beberapa akun mendorong para pengguna Twitter untuk membuat twit dengan tagar tertentu, dan menjanjikan hadiah uang mulai dari Rp10.000 hingga Rp50.000 bagi pengguna yang beruntung,

"Tujuannya, yang penting tagar itu muncul, narasi itu menyebar menjadi trending topic di Twitter. Begitu trending, orang akan melihat semua ... Setiap hari harus ada trending baru yang sifatnya menyudutkan KPK. Publik kan nggak tahu bahwa ini kebanyakan dari Giveaway," kata Ismail.

Ia mencontohkan, tagar #KPKtaataturan, tersebar murni dari Giveaway.

Ismail menambahkan bahwa gerakan yang menolak revisi UU KPK juga ada namun polanya kurang sistematis dan kurang terkoordinasi. Hal itu antara lain terlihat dari materi meme yang digunakan umumnya tidak ada yang dibuat secara khusus, misalnya hanya berupa tangkapan layar artikel atau foto, sehingga terkesan lebih alami.

Tidak solidnya para penolak revisi UU KPK ini juga tampak ketika putri mendiang Abdurrahman Wahid, Anita Wahid, bersuara menentang isu `taliban` di KPK. Mengingat keluarganya menyatakan dukungan kepada Jokowi dalam Pilpres lalu, dan pemerintah mendukung revisi UU KPK, Anita jadi sasaran sindiran sebagian orang yang menentang beleid tersebut.

"Padahal mereka sama-sama pro-KPK," kata Ismail.

Majalah Tempo, yang memuat sampul bergambar Jokowi dengan hidung panjang ala Pinokio, juga diserang para buzzer . Aplikasi Tempo Media Digital di Google Play Store menjadi sasaran praktik yang disebut review-bombing — ramai-ramai memberi nilai satu bintang dan resensi buruk sehingga suatu aplikasi secara otomatis hilang dari daftar rekomendasi.

Menurut Ismail, peristiwa ini mengkonfirmasi temuan dari Oxford University Computational Propaganda tentang penggunaan pasukan siber atau cybertroop . Sifat kampanye pro-revisi UU KPK yang sistematis dan terkoordinasi menandakan adanya suatu pihak yang memanfaatkan algoritma untuk memanipulasi opini masyarakat.

"Penggunaan tagar yang terus-menerus setiap hari, penggunaan materi yang sudah disiapkan, bombardir informasi setiap hari kepada masyarakat, itu semua akan membuat masyarakat ragu mendukung KPK. Itu yang disebut dengan manipulasi opini," ia menjelaskan.

Bagaimanapun, pemerintah yang mendukung revisi UU KPK menyatakan tidak terlibat dalam kampanye di media sosial. Deputi Kantor Staf Presiden bidang komunikasi politik dan diseminasi informasi, Eko Sulistyo, menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki cybertroop .

"Pemerintah saya tegaskan tidak terlibat dalam persoalan-persoalan semacam itu," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Eko menambahkan bahwa pemerintah memang memiliki lembaga siber yang dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Presiden namun lembaga tersebut bertugas menghadapi ancaman terhadap negara. "Bukan hal-hal yang sifatnya pro dan kontra di antara warga negara," kata Eko.

"Jadi bisa aja itu pihak swasta yang bagi-bagi duit, yang mungkin tidak suka KPK melakukan itu," imbuhnya.

`Orwellian`

Siapapun yang berada di balik upaya teror dan propaganda ini, dosen Universitas Diponegoro Wijayanto menduga mereka tidak percaya diri dengan tujuan mereka mendukung revisi UU KPK, sehingga harus menekan siapapun yang berbeda pendapat.

"Kalau mereka yakin bahwa revisi itu memang benar, kemudian niatnya baik, argumentasinya bisa diterima, kan enggak perlu tuh melakukan cara-cara seperti ini. Tinggal yakinkan saja publik," ujarnya.

Menurut Wija, tindakan represi terhadap kebebasan berpendapat merupakan alarm tanda bahaya bagi demokrasi. "Kalau bukan alarm kematian," imbuhnya.

Wija mengatakan bahwa ia dan rekan-rekannya yang mengalami intimidasi lewat telepon merasa bahwa apa yang mereka alami mirip dengan zaman orde baru. Lebih dari itu, mereka merasa seperti dalam novel berjudul 1984 karangan penulis Inggris George Orwell.

Novel tersebut menceritakan kehidupan di bawah rezim totalitarian di mana warga negara selalu berada dalam pengawasan.

Pemerintah menugaskan "polisi pikiran" untuk mengidentifikasi pemikiran yang dianggap menyimpang, sehingga warga harus selalu menyeleksi apa yang mereka pikiran dan, sebagai konsekuensinya, apa yang mereka ungkapkan.

"Itu adalah awal mula dari penyeragaman pikiran. Dan itu sebenarnya, polisi pikiran at work , yang sedang berlangsung sekarang. kalau saya tidak mengalaminya, saya tidak akan menyadarinya," tutur Wija.