Dipertanyakan, Motif DPR Ngebut Sahkan Undang-undang Kontroversial

Gabungan mahasiswa berunjuk rasa di depan gedung DPRD Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (25/09), mereka menolak UU KPK hasil revisi dan pengesahan RUU KUHP. - ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Sumber :
  • bbc

Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan berbagai rancangan undang-undang, RUU, sebelum masa kerja mereka berakhir pada akhir bulan ini. Salah satu yang disahkan setelah pembahasan singkat adalah RUU KPK.

Peneliti menilai cara kerja para anggota DPR ini berpotensi melanggengkan transaksi dan kompromi politik. Namun anggota DPR menganggap hal ini sebagai wujud keseriusan kerja mereka

Di antara draf undang-undang yang sudah disahkan dalam beberapa hari terakhir mencakup undang-undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan dan Undang-undang Pesantren dalam rapat paripurna Selasa (24/09) lalu. Kemudian masih ada UU Perkawinan, UU Sumber Daya Air, dan UU KPK yang menuai gelombang aksi penolakan dari mahasiswa di berbagai daerah.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai kinerja DPR yang mengesahkan berbagai UU di masa akhir jabatan ini merupakan pola berulang yang terjadi di tiap periode dan berpotensi melanggengkan transaksi dan kompromi politik.

"Keinginan untuk mengesahkan RUU di ujung masa kerja itu bagian dari menyediakan banyak medium transaksi yang bisa dilakukan antar partai politik, antara partai politik dan elit, antara partai politik dengan penguasa, dan antar politik dengan pengusaha," kata dia," ujar Lucius kepada BBC News Indonesia, Kamis (26/09).

Namun, tudingan bahwa DPR "kejar setoran" dibantah oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan. Selain telah menggolkan RUU Pesantren, saat ini komisi yang membidangi urusan agama dan sosial ini tengah menggodok RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

"Kan kita diminta untuk bekerja secara optimal, kesempatan inilah yang digunakan kita sebelum masa jabatan berakhir, untuk kita ingin menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Nanti kalau kita tidak menyelesaikan tugas-tugas itu nanti dinilai tidak serius, kan bahaya juga," ujar Ace Hasan.

Implikasi dari pengesahan RUU yang terburu-buru dan tidak sesuai prosedur yang benar akan membuat aturan itu cacat formil dan mudah digugat di Mahkamah Konstitusi, seperti diungkapkan oleh pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, UGM, Oce Madril.

"Bisa dipastikan bahwa pembahasan rancangan undang-undang yang dilakukan di akhir masa jabatan itu kemungkinan besar akan melanggar prosedur yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Artinya, undang-undang itu bisa saja cacat formil," kata dia.

`Tiba-tiba ingin balap di hari-hari terakhir`

Lucius menjelaskan, pengesahan berbagai RUU menjelang akhir masa sidang bukanlah hal yang baru, pada periode 2009-2014, hal yang sama juga terjadi.

"Ada 17 RUU yang mereka perjuangkan di tahun terakhir sampai kemudian mengesahkan secara terburu-buru Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang tentang Pemda, yang selanjutnya diprotes publik dan akhirnya SBY mengeluarkan Perppu untuk membatalkan dua Undang-Undang itu dan kembali ke Undang-Undang lama."

Namun, yang membedakan kinerja periode ini dengan yang sebelumnya, lanjut Lucius, adalah kinerja mereka yang buruk, baik dari sisi kualitas dan kuantitas perundangan yang mereka hasilkan. Hingga Rabu (25/09) hanya sekitar 35 RUU yang disahkan.

"Tetapi tiba-tiba mereka ingin balap atau ngebut di hari-hari terakhir untuk mengesahkan RUU yang jumlahnya hampir sama dengan yang mereka hasilkan selama lima tahun."

Hal ini membuat RUU yang disahkan dalam waktu singkat ini tak berkualitas.

Menurutnya, tidak mengherankan revisi UU KPK yang dihasilkan hanya dalam dua pekan menimbulkan polemik dan penolakan dari publik ketika yang dihasilkan DPR tidak sesuai dengan tujuan dari revisi undang-undang itu.

"Mereka omong soal penguatan KPK, tujuan dari revisi itu, tapi justru yang mereka ubah adalah poin-poin yang berkaitan dengan pelemahan KPK. Jadi dari sisi kualitas sulit untuk mendapatkan jaminan undang-undang yang dibahas kilat akan punya kualitas lebih baik."

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril mengatakan pembahasan RUU KPK yang dalam waktu sangat kilat, hanya 11 hari saja, dan dilakukan secara tertutup, membuat pengesahan RUU ini memiliki dua cacat, yakni cacat formil dan cacat materiil.

"Secara formil, pasti undang-undang ini melanggar prosedur yang ditetapkan, karena semestinya harus masuk dalam prolegnas dan menjadi daftar prioritas, serta harus ada partisipasi publik," ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM ini.

Sementara itu, pengambilan keputusan di DPR yang hanya diikuti beberapa anggota saja, sehingga "secara prosedural jelas sekali pelanggaran itu terjadi."

Adapun secara materiil, lanjut Oce, banyak sekali pasal-pasal yang sudah ditetapkan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), salah satunya soal independensi.

MK sudah memutuskan bahwa komisi antirasuah itu harus menjadi lembaga independen. Namun, dengan menjadikan KPK sebagai bagian dari eksekutif, seperti yang tertuang dalam UU yang baru disahkan, maka prinsip independensi itu sudah terlanggar.

"Ada banyak hal lain, misalnya soal penyadapan yang harus melalui perizinan, kemudian penyidikan dan penuntutan yang harus berkoordinasi dengan polisi dan kejaksaan, tentu hal-hal itu akan menghambat pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK," ujar Oce.

Namun, anggota DPR dari Fraksi Golkar, Ace Hasan Syadzily membantah tudingan bahwa pengesahan UU KPK dilakukan secara terburu-buru dan secara rahasia.

"UU KPK kan sudah lama jadi prolegnas, naskahnya sudah ada sejak 2014. Jadi tidak ada undang-undang yang dilakukan oleh kita yang dilakukan secara cepat-cepat atau diam-diam," ujar Ace.

"Kan Anda tidak menyaksikan setiap hari, setiap saat bekerja untuk melakukan proses pembahasan legislasi," lanjutnya.

Ada apa di balik tradisi DPR ngebut menjelang akhir masa jabatan?

Lucius menjelaskan alasan kebiasaan DPR terburu-buru mengesahkan rancangan undang-undang di akhir masa periodenya tak lepas dari "transaksi politik dan kompromi politik."

"Di sisi lain ada kepentingan partai politik untuk bisa mengamankan kepentingannya melalui regulasi-regulasi yang dibuat," kata Lucius.

Dia mencontohkan, Partai PDIP terlihat "ngotot memperjuangkan" RKUHP yang dipandang sebagai bagian dari upaya pelemahan KPK. Di sisi lain, Partai Gerindra pun ngotot untuk mendapatkan posisi pimpinan MPR.

"Munculnya banyak wacana di akhir periode ini akhirnya memudahkan transaksi, proses kompromi antara fraksi-fraksi atau partai politik dan itu bisa menjelaskan mengapa kepentingan untuk mengesahkan banyak RUU itu akan semakin memudahkan transaksi politik antar partai-partai politik," jelas Lucius.

Sementara itu, pakar hukum tata negara dari UGM Oce Madril menilai pengesahan RUU yang begitu cepat di akhir masa jabatan "adalah waktu yang tidak rasional untuk menempuh prosedur yang sesuai dengan peraturan perundangan".

Selain itu, dalam azas administrasi negara, ada prinsip larangan kebijakan strategis ketika seorang pejabat akan berakhir masa jabatannya. Namun yang terjadi di DPR sekarang, dalam satu bulan terakhir mendekati masa jabatannya, mereka justru "mengejar target" menyelesaikan beberapa perundangan.

"Itu sebetulnya keputusan strategis yang seharusnya tidak diambil oleh pejabat ketika dia memasuki masa akhir jabatan."

Dia menambahkan implikasi dari pengesahan RUU yang terburu-buru dan tidak sesuai prosedur yang benar akan membuat aturan itu cacat formil dan mudah digugat di Mahkamah Konstitusi.

"Pelanggaran dari sisi prosedural atau cacat formil adalah salah satu alasan utama untuk membatalkan produk hukum yang diuji di mahkamah konstitusi atau mahkamah agung sehingga menurut saya regulasi-regulasi yang akhir-akhir ini dibentuk dengan cara terburu-buru itu rentan sekali dibatalkan," kata dia.

RUU PKS disahkan periode selanjutnya

Waktu yang terbatas juga membuat pengesahan sejumlah RUU tertunda, salah satunya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Padahal, Komnas Perempuan dan kelompok pegiat HAM telah mendesak RUU tersebut supaya segera disahkan.

Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan waktu kerja yang tinggal sedikit tak memungkinkan DPR dan pemerintah menyelesaikan RUU P-KS di periode ini, apalagi pembahasan RUU ini masih terkendala berbagai kendala.

"Saya sudah berkoordinasi dengan pimpinan panja terkait karena waktunya yang pendek dan masih banyak masalah yang belum selesai dibahas, maka kita putuskan ditunda," ujarnya kepada wartawan, Kamis (26/09) pagi.

Pembahasan RUU P-KS akan dilanjutkan pada periode DPR 2019-2024 yang akan dilantik pada 1 Oktober mendatang.

Hal itu memungkinkan setelah disahkannya UU Peraturan Pembentukan Perundangan Perundang-undangan (P3), yang mengatur rancangan undang-undang yang belum rampung pembahasannya di DPR, bisa dilanjutkan pada periode selanjutnya.

Adapun hasil rapat Panja RUU PKS DPR dan pemerintah pada Rabu (26/09) menyepakati membentuk tim perumus (Timus). Timus RUU P-KS ini akan efektif bekerja pada periode DPR mendatang.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengungkapkan ada dua substansi yang sudah disepakati dalam RUU itu, yakni terkait pencegahan kekerasan seksual dan rehabilitasi korban kekerasan seksual.

Akan tetapi, aspek pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual, kata Ace, harus disinkronkan dengan UU induk, yakni KUHP yang pengesahan revisinya juga ditunda oleh DPR

"Karena Undang-Undang PKS ini undang-undang lex specialis. Kenapa harus disinkronkan dengan RKUHP karena beberapa jenis kekerasan seksual itu pada prinsipnya sudah ada aturannya di KUHP, misalnya tentang perkosaaan, pencabulan, pemaksaan kontrasepsi," jelas Ace.

Lantaran RKUHP saat ini menjadi kontroversi di masyarakat, lanjut Ace, maka DPR harus menunggu pengesahannya karena undang-undang ini menjadi rujukan dalam membahas UU P-KS.

Hal lain yang menjadi perdebatan di Panja RUU P-KS adalah perbedaan pandangan dari fraksi-fraksi.

"Ada beberapa fraksi yang menanggapi undang-undang ini sesuatu yang urgent , ada juga pandangan bahwa undang-undang ini bisa mendorong orientasi seksual," kata dia.

Sejumlah kalangan mengkritik DPR karena tak juga mengesahkan RUU P-KS yang pembahasannya dimulai sejak dua tahun lalu itu. Akibatnya, DPR pun dituding toleran terhadap kekerasan seksual.