Kejengkelan Megawati dan Sindiran untuk SBY 

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri usai pengumuman calon kepala daerah
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Pidato Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri yang mengaku jengkel ada pimpinan partai politik yang memaksakan anaknya untuk Pemilu 2024, direspon cepat oleh elite Partai Demokrat.

Tak ingin tertuduh, elite Demokrat langsung bereaksi dengan menepis kejengkelan Megawati dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Megawati sedang jengkel pada dirinya sendiri. Karena Megawati juga punya anak yang karir politiknya moncer, bahkan potensial di Pemilu 2024. 

Ada juga yang mengaitkan pidato Megawati ini merujuk pada anak dan menantu Jokowi yang sedang berjuang mendapat restu partai untuk Pilkada serentak 2020. Gibran Rakabuming tengah menanti rekomendasi PDIP di Pilkada Solo, begitu menantu Jokowi, Bobby Nasution di Pilkada Medan.

Bagi politikus PDIP Deddy Yevri Sitorus, pidato Megawati itu sejatinya tidak menunjuk orang tertentu atau pada satu periode tertentu. Pada intinya, Megawati di hadapan internal partai memberikan perintah bahwa Pemilu 2024 mendatang, Mega ingin anak-anak muda yang maju.

"Ini bicara direction, 'Saya (Megawati) mau kedepan itu, anak-anak muda yang maju tapi jangan paksakan yang tidak punya kemampuan. Karena masih ada kader lain toh itu anak kalian juga'," kata Deddy di tvOne, Kamis malam, 20 Februari 2020.

Pidato Megawati, lanjut dia, juga tidak untuk menyindir anak dan menantu Jokowi di Pilkada 2020. Tapi, kejengkelan Megawati karena ada yang memaksakan anaknya sebagai pemimpin padahal tidak punya kemampuan. 

"Jangan dipersempit karena menunjuk anak si A, si B, ini panjang ceritanya, kalau dilihat kejengkelan Bu Mega, seolah-olah kader lain itu bukan anak kalian, seolah-olah PDIP ini enggak ada orang," paparnya.

Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indikator, Burhanudin Muhtadi justru menilai meskipun pidato Megawati itu disampaikan di internal PDIP, tapi ada nuansa objektivitas atas kondisi dinasti politik yang makin merusak regenerasi politik di tingkat lokal.

"Ada kejengkelan yang meluap-luap, karena fenomena dinasti politik ini tidak saja merugikan partai tapi juga pemilih, karena upaya kontestasi elektoral coba dikerucutkan, disimplifikasikan ke urusan keluarga," kata Burhanuddin.

Kadangkala, kata Burhan, model dinasti politik yang dimaksud bukan hanya ada di satu partai politik. Karena memiliki dinasti politik kuat, cenderung dinasti politik predatorik, atau yang menempatkan dinastinya di sejumlah partai.

"Contohnya, bapaknya ketua PDIP, anaknya ditaruh di Demokrat, ada contohnya, di Lebak. Yang lain di Golkar, PPP. Nah ini menjengkelkan," ujarnya.

Namun demikian, Burhan menganalisa jika ditarik lebih spesifik implikasi politik dari pidato Megawati, yakni ketika Megawati menyentil 'Kalau punya anak tidak siap, jangan dipaksakan di Pemilu 2024', seketika orang akan mengarah pada sosok SBY.

"Oh bulan Mei ini akan ada kongres nih, partai besar, yang kebetulan (jabatan ketua umumnya) diperebutkan oleh dua anak dari ketua umum, kan orang enggak bisa disalahkan juga (punya tafsir demikian)," ungkapnya.