Saiq Aqil: Wajah Bopeng Demokrasi AS Tidak Patut Ditiru

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Amerika Serikat tengah disorot dunia internasional karena gejolak demonstrasi yang meluas atas kematian pria kulit hitam, George Floyd. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj menilai demokrasi AS saat ini tengah sekarat.

Said mengatakan demikian karena selama ini negeri Paman Sam itu selalu tampil bak polisi demokrasi dunia.

"Kampanye hitam Trump di musim kampanye Pilpres AS yang rasis menunjukkan sentimen negatif terhadap imigran kulit warna dan kaum Muslim, telah menabung bara api yang meledak dalam kerusuhan rasial sekarang," kata Said Aqil dalam video yang diunggah akun Instagram @saidaqilsiroj53 yang dikutip VIVAnews pada Minggu, 7 Juni 2020.

Said menyinggung demokrasi AS yang sekarat karena menghasilkan pemimpin konservatif ke titik anti-klimaks dengan retorika politik liberal. 

Menurutnya, ada perubahan haluan yang drastis dari Presiden AS sebelumnya yang diusung Partai Demokrat yaitu Barack Obama ke Donald Trump yang diusung Partai Republik. Ia bilang hal ini menunjukkan pondasi demokrasi AS tak sekokoh seperti yang didengung-dengungkan.

Diskriminasi rasial dan kesenjangan ekonomi jadi cacat bawaan seperti disinggung tokoh peraih nobel asal Swedia Gunnar Myrdal pada 1944. Kritik Gunnar dituangkan dalam bukunya berjudul An American Dilemma. Merujuk buku itu, demokrasi AS akan terus dihantui pertarungan abadi antara ide persamaan hak dan prasangka rasial.

Menurut Said, keyakinan Myrdal pada akhirnya demokrasi akan menang atas rasisme tidak terbukti sampai sekarang. Diskriminasi atas warga keturunan Afrika-Amerika telah memicu kerusuhan rasial yang terus berulang hingga 11 kali dalam setengah abad sejak 1965.

Kata dia, keadilan, persamaan hak,  dan perlakuan tanpa diskriminasi dalam demokrasi yang saat ini gagal dicontohkan Amerika. "Standar ganda yang sering digunakan Amerika dalam isu HAM, perdagangan bebas, dan terorisme menunjukkan wajah bopeng demokrasi yang tidak patut ditiru," lanjut Said.

Untuk itu, kata dia, Nahdlatul Ulama (NU) memandang demokrasi masih merupakan sistem terbaik yang sejalan dengan konsep syûrâ di dalam Islam.

Namun, NU menolak penyeragaman demokrasi liberal ala AS sebagai satu-satunya sistem terbaik untuk mengatur negara dan pemerintahan. Maka itu, Indonesia menurutnya tak perlu membesar-besarkan AS dalam urusan praktik demokrasi.

"Indonesia tidak perlu membebek Amerika dan negara manapun untuk membangun demokrasi yang selaras dengan jati diri dan karakter bangsa Indonesia," katanya.

Demokrasi yang perlu dibangun tetap harus berlandaskan pada prinsip musyawarah-mufakat dalam politik dan gotong royong dalam ekonomi. Demokrasi yang sejalan dengan penguatan cita politik sebagai bangsa yang nasionalis-religius dan religius-nasionalis.

"Nahdlatul Ulama memandang bahwa kejadian kerusuhan rasial di Amerika saat ini perlu menjadi bahan refleksi serius agar peristiwa serupa tidak terulang di negara mana pun," ujarnya.

Nama George Floyd mendadak tenar disorot dunia internasional dalam dua pekan terakhir. Kematian pria keturunan Afrika-Amerika itu memicu kemarahan publik AS.

Aksi demo turun jalan yang berujung kerusuhan terjadi di sejumlah daerah AS termasuk Minneapolis.

Pun, terkait itu seorang perwira polisi kulit putih di Minneapolis, Derek Chauvin dijerat hukum pembunuhan tingkat dua. Dalam video viral di media sosial, ia diketahui menekan lututnya ke leher Floyd sekitar delapan menit.

Saat ditekan lehernya dengan lutut Derek, Floyd dalam kondisi terbaring tengkurap dan diborgol. Dalam video itu, polisi menjatuhkan Floyd.

Floyd mengalami sesak napas setelah dibekap dengan lutut. Pria 46 tahun itu pun dilaporkan meninggal dunia di salah satu rumah sakit Minneapolis pada Senin, 25 Mei 2020. Ada kabar juga bila Floyd sebenarnya meninggal di rumah tahanan.

Aksi gelombang protes dari massa langsung muncul esok harinya pada Selasa, 26 Mei 2020. Kematian Floyd dikaitkan dengan rasisme.