Drama Politik Jelang Pilpres, PDIP Disinggung Pernah Ikhtiarkan Syarat Capres Lulusan SMA
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Jelang Pilpres 2024, drama politik mencuat terkait putra sulung Presiden RI Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka yang maju jadi bakal cawapres pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, drama politik sudah biasa terjadi jelang kontestasi Pilpres.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menyampaikan setiap jelang Pilpres selalu muncul drama politik. Kata dia, drama politik itu bisa menguntungkan capres atau cawapres tertentu.
Dia mencontohkan salah satu momen politik saat jelang Pilpres 2004. Saat itu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri maju lagi sebagai bakal capres 2024.
Namun, menurut dia, ketika itu, ada ikhtiar PDIP yang memperjuangkan syarat pendidikan capres minimal tetap SMA atau sederajat.
"Menjelang Pilpres 2004, PDIP memperjuangkan syarat capres tetap SMA. Hal itu dilakukan agar Megawati Soekarnoputri bisa maju jadi capres. Untuk itu diterbitkan UU Nomor 23 Tahun 2003 yang menyatakan pendidikan minimal SMA bagi capres dan cawapres," kata Jamil, sapaan akrabnya, Rabu, 8 November 2023.
Jamil berpendapat, syarat capres dan cawapres saat ini sebaiknya minimal S-1. Dia mengatakan demikian karena rakyat Indonesia yang semakin terdidik dan bisa mengikuti perkembangan zaman.
"Jadi, sudah saatnya syarat presiden dan wakil presiden Indonesia minimal sarjana S1. Dengan pendidikan seperti itu diharapkan dapat mengikuti perkembangan zaman baik di tanah air maupun dunia internasional," ujar Jamil.
Elite PDIP pun merespons pandangan Jamil soal syarat pendidikan capres-cawapres minimal SMA. Politikus senior PDIP Andreas Hugo Pareira menyebut isu tersebut kesiangan.
"Pengamat kesiangan isu tuh," ujar Andreas saat dikonfirmasi VIVA, Rabu, 7 November 2023.
Andreas menekankan syarat pendidikan minimal capres-cawapres sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Hal itu diatur dalam Pasal 169 UU Pemilu. Syarat pendidikan terakhir bagi capres dan cawapres minimal lulus dari SMA atas sederajat.
“Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat,” demikian huruf r Pasal 169 UU Pemilu.
Isu pendidikan capres minimal SMA sempat heboh lagi diangkat jelang Pilpres 2009. Mengutip buku 'Perang RI 1, Kandidat Calon Presiden' (2008:47), masyarakat Indonesia pada Maret 2007 digegerkan draf RUU pemilihan presiden yang dirancang tim Departamen Dalam Negeri.
"Dalam draf tersebut, disebutkan bahwa syarat pendidikan calon presiden minimal S-1 atau sederajat. Ini berarti ada peningkatan dibanding syarat pendidikan capres di Pilpres 2004 yang hanya mensyaratkan ijazah SMA," demikian dikutip dalam buku tersebut.
Isu tersebut ketika itu, dimaknai sebagai bentuk kebijakan yang menguntungkan tokoh capres tertentu. Namun, dinilai merugikan Megawati yang saat itu akan maju lagi di 2009.
"Sangatlah bijak ketika Megawati merespons persyaratan S-1 bagi capres dengan pernyataan yang mengundang simpati. "Saya ini bukan orang sekolahan," tulis dalam buku tersebut.
Drama Jelang 2024
Drama politik muncul lagi jelang Pilpres 2024. Kali ini persoalan umur capres-cawapres yang digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu gugatan itu yakni perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dikabulkan MK.
Dikabulkan perkara nomor 90 itu teryata jadi 'lampu hijau' untuk anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Sebab, MK mengizinkan capres dan cawapres dari kepala daerah meski belum berusia 40 tahun.
"Akhirnya MK mengabulkan gugatan itu, yang memuluskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres," sebut Jamil.
Dia menyoroti drama politik seperti itu seharusnya tidak boleh terjadi di negara yang menganut demokrasi. Menurut dia, di negara demokrasi seharusnya aktor politik tunduk pada aturan yang berlaku.
"Semua aktor politik melakukan aktifitas politik mengikuti koridor hukum yang berlaku. Jadi, aturan hukum tidak boleh menyesuaikan kehendak aktor politik," jelas Jamil.
Menurut dia, aktor politik justeru dituntut untuk taat dengan aturan yang berlaku. Kata Jamil, aturan dijadikan tertib berperilaku sehingga aktifitas politik yang dilakukan aktor politik berjalan lancar. "Tanpa terjadi tabrakan yang membahayakan pelaku dan pengikutnya," ujarnya. (hty)