Tiga Dosa Politik Yudhoyono
VIVAnews – Penulis buku, Boni Hargens, mengungkap latar belakang sejumlah kebijakan publik Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Kepala negara itu dinilai kerap menjadikan kebijakan pemerintah sebagai strategi mendongkrak popularitas menjelang pemilihan umum 2009.
Kritikan Boni Hargens disampaikan Boni melalui buku berjudul "Trilogi Dosa Politik: Memahami Dosa-dosa Politik Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Pengkhianatan Kaum Intelektual."
Boni menguraikan kebijakan pemerintah yang dimanfaatkan sebagai komoditas politik itu menjadi tiga kategori dosa politik Yudhoyono-Kalla. Pertama melalui jalan kekuasaan, kedua kekayaan, dan ketiga ketenaran.
Boni mengatakan banyak kebijakan pemerintah yang dijalankan Yudhoyono dan Kalla hanya memiliki orientasi kekuasaan. Contohnya, kata Boni, upaya membongkar kasus korupsi gencar dilakukan, terutama selama 2008 ini. Boni mempertanyakan alasan pemerintah justru fokus pada korupsi, bukan kemiskinan atau pengangguran. Padahal dua kasus itu juga menjadi masalah besar di Indonesia.
“Lalu, kenapa baru di akhir 2008 besan Yudhoyono, Aulia Pohan, ditahan. Padahal kasusnya terjadi sejak 2003. Lebih mencurigakan lagi, kenapa dia ditahan paling akhir, padahal kawan-kawannya dalam kasus itu sudah lama ditahan,” kata Boni.
Menurut Boni, kasus itu memperlihatkan bahwa pemerintah memainkan isu pemberantasan korupsi sebagai komoditas politik. “Sasaran jangka pendek yaitu pemilu 2009,” kata Boni.
Kepentingan itu, kata Boni, juga nampak dari iklan-iklan antikorupsi yang genjar dibuat pemerintah. Boni mengatakan iklan semacam itu memang merupakan bagian dari agenda global untuk memberantas korupsi.
Namun harus dicurigai memiliki kepentingan tertentu. Apalagi, setelah iklan pemerintah itu muncul, disusul disusul kemudian dengan iklan yang dibuat Partai Demokrat. Partai ini merupakan pengusung Yudhoyono maju merebut kursi presiden. “Ini manuver hebat kalau dibaca dengan rumus matematika politik pemilu 2009,” kata dia.
Saat ini, kata Boni, hasilnya mulai dinikmati Partai Demokrat. Boni merujuk survei yang dikeluarkan National Leadership Center dan Tyailor Nelson Sofress 15-26 September 2008. Partai ini kemudian makin populer di mata publik dibanding jawara pemilu 2004, Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Upaya politisasi kebijakan pemerintah lainnya, kata Boni, terjadi ketika pidato kenegaraan Yudhoyono 16 Agustus 2006 dan 15 Agustus 2008. Dalam pidato itu, diuraikan data kemiskinan dan pengangguran. Namun, kata Boni, isi pidato itu justru kontroversial.
“Pemerintah ketahuan bohong ketika lembaga independen Tim Indonesia Bangkit melansir data lain yang bertentangan,” kata Boni.
Keyakinan bahwa pemerintah bermain dengan data kemiskinan, kata Boni, mengujat setelah pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur menewaskan 21 warga pada 15 September 2008. Menurut Boni kasus itu bukan sekadar pembagaian zakat, melainkan mencerminkan keadaan kompleks fakta kemiskinan di Indonesia.
Selanjutnya, ketika Yudhoyono mendeklarasikan diri sebagai calon presiden pada pemilihan presiden 2009 di Istana Kepresidenan. Walau Yudhoyono mempunyai alasan maju kembali merebut kursi presiden karena banyak tugas negara yang selama ini belum diselesaikan, Boni mencatat beberapa hal yang dianggap tidak pada tempatnya.
Menurut Boni, Yudhoyono menyalahgunakan ruang milik rakyat guna kepentingannya saat deklarasi pencalonan kembali di pemilihan umum itu. Sebab, ketika itu Yudhoyono menampilkan sebagai ketua partai, bukan kepala negara. Sementara, Yudhoyono menggunakan fasilitas kepresidenan.
Boni mengatakan pertemuan para raja se-Indonesia di Istana Negara pada 29 November 2008 atas undangan Yudhoyono juga menjadi komoditas politik. Pertemuan itu dilakukan tidak lama calon presiden Sultan Hamengkubuwono X menggelar pertemuan akbar dengan rakyat di Yogyakarta.
“Kegiatan Yudhoyono ini mudah sekali dibaca sebagai tandingan politik terhadap kiprah Sultan,” kata Boni.
Dosa politik Yudhoyono-Kalla lainnya, kata Boni, keinginan menumpuk kekayaan. Untuk mengukurnya, Boni menggunakan kasus naik-turun harga bahan bakar minyak, kasus PT Freeport di Papua, masalah tender Blok Cepu dalam kaitannya dengan Exxon Mobil, dan beberapa kasus lain.