Dua Perawat Dikriminalisasi, Salah UU?

Perawat Demo DPR
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVAnews - Belum tuntas Misran, mantri perawat asal Kalimantan Timur menanti fatwa Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan pasal dari Undang-Undang Kesehatan 2009 yang menjerat dirinya ke dalam penjara, kini Irfan Wahyudi, mantri perawat asal Situbondo, juga tersandung kasus serupa. Karena memberi pertolongan medis, Irfan ditangkap polisi.

Ledia Hanifa, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi Kesehatan, Kependudukan, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, justru menilai kesalahan bukan pada undang-undang yang dibuat DPR.

“Persoalan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata di negeri ini, serta tidak adanya landasan yang memberi kepastian dan payung hukum bagi tenaga perawat atau mantri menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata Ledia kepada VIVAnews.com di Jakarta, Jumat 14 Januari 2011.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu lalu menjabarkan keprihatinannya. Kalau sekadar mengacu pada Undang-Undang Kesehatan, ratusan ribu perawat atau mantri bisa terpidana. Karena, pertama, mereka dianggap tidak memiliki wewenang memberi bantuan medis langsung pada pasien.

Tetapi, di sisi lain, menolak memberi bantuan medis pada situasi kedaruratan juga bisa dipidana. Kedua, wewenang memberi bantuan medis hanya pada dokter, sedangkan faktanya di Indonesia hampir separuh Puskesmas kekurangan atau malah tidak punya dokter sama sekali.

“Ini kan seperti  memakan buah simalakama. Tidak menolong pasien bisa terpidana, tapi menolong pasien juga bisa terpidana. Lantas bagaimana masyarakat kita yang jumlahnya jauh lebih banyak tinggal di perdesaan dan tempat terpencil akan mendapat haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan?” kata Ledia yang terpilih dari daerah pemilihan Kota Bandung dan Cimahi ini.

Karena itu, Ledia menegaskan kembali bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk segera membenahi sistem penataan tenaga kesehatan di negeri ini.

“Pendistribusian tenaga kesehatan, baik itu dokter, dokter spesialis, apoteker, perawat, bidan,  dan ahli gizi, harus merata sampai ke semua pelosok negeri. Begitu juga RUU Keperawatan harus segera disahkan menjadi undang-undang,” tuturnya.

Ledia lantas menjelaskan mengapa RUU Keperawatan menjadi penting untuk segera disahkan adalah karena para perawat yang merupakan ujung tombak tenaga kesehatan yang paling banyak dan sering bersentuhan dengan pasien membutuhkan kepastian dan payung hukum saat menjalankan profesi mereka.

Adanya undang-undang akan memberikan batasan jelas pada hak dan kewajiban profesi mereka, sekaligus juga akan meningkatkan profesionalisme para perawat karena akan mengatur pula urusan mengenai keseragaman kompetensi dan sertifikasi.

“Dengan penataan sistem tenaga kesehatan yang lebih baik, pendistribusian tenaga kesehatan yang lebih merata dan pengesahan RUU Keperawatan, kita berharap tak akan muncul kriminalisasi tenaga kesehatan lain yang sesungguhnya akan merugikan masyarakat sendiri,” kata Ledia. (art)